Ali Sastroamidjojo, SH, seorang tokoh politik, pemerintahan, dan nasionalis, memperoleh gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Ia menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-8 dalam dua periode, yakni 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).
Selain itu, Ali meniti karier pemerintahan sebagai Wakil Menteri Penerangan, Menteri Pengajaran pada beberapa kabinet, serta Wakil Ketua MPRS, menunjukkan kontribusinya yang beragam dalam politik dan pemerintahan Indonesia.
Pada masa sekolah, Ali aktif dalam organisasi pemuda seperti Jong Java dan Perhimpunan Indonesia. Aktivitasnya di dunia organisasi membuatnya ditangkap oleh Polisi Belanda pada tahun 1927, bersama tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Mohammad Hatta.
Setelahnya, Ali terus berkontribusi dalam perjalanan politik Indonesia pasca-Perang Dunia II, menjabat sebagai Menteri Pengajaran, berperan dalam perundingan dengan Belanda, dan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Ali juga menjadi ketua umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagai ketua umum Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Selain itu, Ali aktif dalam menulis, dengan karya-karyanya yang mencakup berbagai aspek, seperti hukum internasional, politik luar negeri Indonesia, otobiografi, dan kisah empat mahasiswa Indonesia di Belanda.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan
Raden Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Jawa Tengah, Hindia Belanda (kini Indonesia). Keluarganya merupakan bagian dari bangsawan Kabupaten Magelang, termasuk dalam golongan elit Indonesia, dan Ali adalah anak ke-11 dari 12 bersaudara.
Ayahnya, R. Ng. Sastroamidjojo, menjabat sebagai seorang Wedana di Jetis, Temanggung, sementara ibunya, Kustiah, memiliki hubungan kekerabatan dengan Bupati Magelang. Kedua orang tua Ali gigih dalam mempertahankan adat istiadat Jawa.
Masa kecil Ali dihabiskan bermain bersama teman-temannya dari keluarga petani. Untuk memberikan lingkungan yang lebih kondusif bagi tumbuh kembang anak-anaknya, keluarga Sastroamidjojo pindah ke kota, tempat Ali mulai menerima pendidikan Eropa, walaupun ia tetap rutin belajar bahasa Jawa.
Keluarga Sastroamidjojo berkomitmen untuk mempromosikan pentingnya pendidikan Barat. Ali memulai pendidikannya dengan mengambil pelajaran bahasa Belanda di Europeesche Lagere School (ELS), namun karena Ali mendapatkan bullyan sehingga hanya bertahan setahun di sana.
Ayahnya kemudian memindahkan Ali ke kelas lain, tetapi ia masih dihadapkan pada penolakan karena kemampuan berbahasa Belandanya yang terbatas. Ali akhirnya diterima setelah ayahnya meyakinkan pihak sekolah.
Pada tahun 1918, Ali melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burgerschool (HBS), tempat ia mengenal budaya Barat, terutama budaya Belanda, dan juga mempelajari sastra Perancis, Jerman, dan Inggris. Pendidikannya di HBS diselesaikan pada tahun 1922, dan setelah lulus, ia bertemu dengan Titi Roelia, yang kemudian menjadi istrinya.
Seperti sebagian besar pemuda bangsawan di Hindia Belanda, Ali berhasil memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda, termasuk bantuan dari Hendriks Kraemer, seorang Sarjana Sastra Timur dan Kebudayaan Timur yang merupakan kenalan dari saudara laki-lakinya.
Di Belanda, Ali awalnya bermaksud masuk Fakultas Sastra dan Filsafat di Universitas Leiden, tetapi ditolak karena ijazah HBS-nya dianggap tidak memenuhi syarat. Meskipun disarankan untuk memulai kembali dari awal, Ali hanya mendapatkan ijazah sastra Latin dan Yunani sebelum akhirnya memutuskan untuk mempelajari Hukum.
Pada tahun 1927, Ali lulus dengan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum). Selama di Belanda, ia aktif dalam beberapa organisasi pemuda, termasuk Jong Java dan Perhimpoenan Indonesia. Aktivitasnya menyebabkannya ditangkap oleh Belanda pada tahun 1927, tetapi Ali segera dibebaskan.
PNI
Ali kembali ke tanah airnya pada tahun 1928 dan segera membuka kantor pengacara bersama teman-temannya. Namun, panggilan kepada Ibu Pertiwi dan cintanya pada rakyatnya memotivasinya meninggalkan pekerjaan tersebut.
Ali memilih jalan perjuangan politik untuk memerdekakan bangsanya dari belenggu kolonialisme. Sebagai pemuda yang lahir di Grabag, Magelang, pada 21 Mei 1903, Ali dengan cepat terlibat dalam pergerakan kemerdekaan.
Ali bergabung dengan PNI, yang didirikan oleh Soekarno dan kawan-kawannya di Bandung pada 4 Juli 1927. Dalam waktu singkat, PNI berkembang menjadi organisasi massa revolusioner dengan cabang-cabangnya tersebar di berbagai daerah.
Di Solo, Ali Sastroamidjojo memimpin Cabang PNI, sementara istrinya, Titi Roelia, yang dikenalnya sejak di Belanda, juga aktif sebagai aktivis pergerakan nasional dan feminis.
Pada tahun 1928, Ali terlibat dalam sebuah kongres PNI di mana terjadi perdebatan sengit dengan Soekarno. Saat itu, Soekarno mengusulkan agar semua anggota PNI mengenakan seragam, namun Ali menyatakan ketidaksetujuannya dengan ide tersebut, menilai bahwa hal itu tidak sesuai dengan kepribadian nasional.
Ali mengusulkan agar PNI mengenakan sarung tanpa perlu menggunakan alas kaki, sehingga PNI terlihat sebagai organisasi revolusioner dari kalangan rakyat jelata. Meskipun terjadi perdebatan yang sengit, Ali berhasil mempertahankan pandangannya dan tetap bersahabat erat dengan Soekarno, seiring dengan perjalanan mereka dalam perjuangan bersama di PNI.
PNI berkembang pesat dan dianggap sebagai ancaman oleh penguasa kolonial. Pada tahun 1929, Soekarno dan tiga kawannya ditangkap oleh Belanda, menggoyahkan PNI.
Meskipun terjadi perpecahan dalam kepemimpinan PNI yang menyebabkan pembubaran organisasi dan pendirian Partai Indonesia (Partindo), Ali Sastroamidjojo bergabung dengan Partindo dan juga terlibat dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Menteri dan Perdana Menteri
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, ia terus aktif di bidang politik dan pemerintahan, menjabat sebagai wakil menteri pendidikan dalam kabinet Indonesia pertama. Ia kemudian merangkap posisi sebagai Menteri Pendidikan dalam Kabinet Amir Syarifuddin I, II dan Kabinet Hatta I.
Perannya semakin terlihat ketika ia menjadi wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda dan turut serta sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar.
Setelah jatuhnya Kabinet Wilopo dan insiden “urusan Tanjung Morawa,” Ali terpilih untuk memimpin kabinet baru. Pembentukan kabinet ini melibatkan lebih dari enam minggu perundingan dan lima upaya berbeda dengan kombinasi partai yang beragam.
Kabinet baru ini memiliki keunikan dengan sebagian besar anggotanya yang baru, hanya empat dari dua puluh anggota yang pernah berpartisipasi dalam kabinet sebelumnya.
Pada tanggal 25 Agustus 1953, perdana menteri baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal pemilihan umum selama 16 bulan yang dimulai pada Januari 1954. Dia juga membentuk Panitia Pemilihan Pusat baru, yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemilihan Umum.
Panitia ini melibatkan partai-partai yang mewakili pemerintahan, seperti Nahdatul Ulama (NU), Partai Persatuan Islam Indonesia (PSII), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh, dan Front Tani Indonesia (BTI), serta Gerakan Pendidikan Islam (Perti) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang mendapat dukungan pemerintah.
Di bawah kepemimpinannya, birokrasi diperluas dengan lebih banyak pejabat dari PNI, ekonomi mengalami masa Indonesianisasi, dan pemerintah mendorong pengusaha pribumi untuk membuka perusahaan baru.
Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan baru yang sebenarnya merupakan kedok palsu untuk perjanjian antara pendukung pemerintah dan orang Tionghoa, yang kemudian dikenal sebagai “Perusahaan Ali Baba,” di mana orang Indonesia (‘Ali’) menjadi penutup bagi pengusaha Cina (‘Baba’).
Setelah pengakuan kedaulatan NKRI, Ali diangkat menjadi Duta Besar Indonesia pertama untuk Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, selama periode 1950 hingga 1955. Selain itu, ia juga menjadi ketua Konferensi Asia Afrika di Bandung. Pada kongres tahunan PNI yang kesembilan pada bulan Juli 1960, Sastroamidjojo terpilih sebagai ketua partai.
Ketum PNI
Partai Nasional Indonesia (PNI), di mana Ali menjadi anggotanya, menghadapi tantangan serius dalam mengatasi permasalahan politik Indonesia secara koheren. Pada masa pemerintahan Suwiryo, organisasi partai di tingkat provinsi dilanda kekacauan, menimbulkan tantangan besar dari kubu muda dan sayap kiri yang akhirnya membentuk Partindo, sebuah partai sayap kiri baru.
Walaupun Partindo tidak mendapat dukungan massa yang signifikan, keberadaannya mencerminkan kritik yang luas terhadap PNI di bawah kepemimpinan Suwiryo. Kongres PNI ke-9 di Surakarta pada bulan Juli 1960 menjadi titik awal Ali terpilih sebagai ketua partai, menggantikan kepemimpinan yang tidak efektif dari Suwiryo.
Sebagai ketua PNI, Ali, meskipun digambarkan sebagai “seorang politisi sempurna yang memiliki rasa mempertahankan diri yang sehat,” sering mengecewakan pendukungnya dari kubu muda dan sayap kiri karena sering memposisikan dirinya di tengah.
Dalam kepemimpinannya, PNI melaksanakan reformasi organisasi untuk mengembalikan kewenangan pimpinan pusat, meningkatkan koordinasi kegiatan partai dengan organisasi massa. Reformasi ini menyebabkan peningkatan anggota partai, dari 198.554 nama pada bulan April 1961, melonjak drastis menjadi 1.858.119 nama pada Kongres Partai ke-10.
Aturan baru yang dikeluarkan pada tahun 1961 mengatur hubungan antara partai dan organisasi, menetapkan bahwa PNI adalah “organisasi pelopor” dalam gerakan Marhaen, dan pemimpin partai berfungsi sebagai “pemimpin” organisasi massa yang berafiliasi dengannya.
Pada Kongres PNI ke-10 di Purwokerto, Ali Sastroamidjojo terpilih kembali sebagai ketua umum, sementara tokoh baru bernama Surachman, yang sebelumnya aktif di partai sayap Tani dan Tani, menjadi sekretaris jenderal. Ali membawa partainya lebih jauh ke arah kiri.
Namun, perpecahan mulai tumbuh di dalam PNI antara kubu sayap kiri di bawah Ali dan Surachman serta kubu konservatif di bawah Osa Maliki, Sabilal Rasjad, Hardi, Hadisubeno Sosrowerdojo, dan Mohammad Isnaeni. Setelah kudeta Gerakan 30 September yang gagal, yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), politik bergeser.
Perpecahan antara kubu sayap kiri dan kubu konservatif, semakin dalam, mencapai puncaknya pada kongres luar biasa di Bandung pada tanggal 21 hingga 27 April 1966. Kubu konservatif berhasil menggulingkan kubu sayap kiri Ali dan Surachman, dengan Osa Maliki terpilih sebagai ketua. Jenderal Ali Moertopo disebut-sebut terlibat langsung dalam kongres pembersihan sayap kiri PNI.
Akhir Hayat
Setelah melepaskan jabatan ketua PNI, Ali tetap setia pada prinsip-prinsip nasionalisme, Marhaenisme, dan tetap sebagai pengikut Soekarno. Setelah Soekarno dijatuhkan pada tahun 1967 oleh Jenderal Suharto, yang kemudian menjadi presiden, Ali ditangkap oleh militer dalam gelombang penangkapan terhadap mantan rekan-rekan Soekarno.
Meskipun dibebaskan tanpa peradilan, Ali menghabiskan sisa hidupnya dengan relatif tenang dan produktif, fokus pada kegiatan menulis. Beliau meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1975, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bio Data Ali Sastroamidjojo
Nama Lengkap | Mr. Raden Ali Sastroamidjojo |
Nama Kecil | Mr. Raden Ali Sastroamidjojo |
Nama Lain | Ali Sastroamijoyo |
Tempat, Lahir | Grabag, Magelang, Keresidenan Kedu, Hindia Belanda, 21 Mei 1903 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 13 Maret 1975 (umur 71) |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Pengacara Politikus |
Partai Politik | Partai Nasional Indonesia (PNI) |
Keluarga | |
Ayah | R. Ng. Sastroamidjojo |
Ibu | Kustiah |
Isteri (Pernikahan) | Titi Roelia(m. 1922; wafat 1966) Kurnianingrat (m. 1970) |
Anak |
Riwayat Pendidikan Ali Sastroamidjojo
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School (ELS) |
Hogere burgerschool (HBS) | Hogere burgerschool (HBS) |
Meester in de Rechten ( Sarjana Hukum ) (1927) | Universitas Leiden |
Karir Ali Sastroamidjojo
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Jong Java | Anggota (1918-1922) |
Indsiche Vereniging | Anggota ( 1923-1928) |
Partai Nasional Indonesia | Anggota |
Partai Indonesia (PARTINDO) | Anggota |
Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) | Anggota |
Menteri Penerangan I | Wakil Menteri Penerangan I (19 Agustus 1945-14 November 1945 |
Menteri Pengajaran Indonesia | Menteri Pengajaran Indonesia (3 Juli 1947-4 Agustus 1949) |
Perjanjian Renville (Delegasi Indonesia) | Wakil Ketua (Februari 1948) |
Konferensi Meja Bundar (Delegasi Indonesia) | Anggota |
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat | Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (20 Februari 1950 – 27 Februari 1953) |
Duta Besar Pertama Indonesia untuk Kanada | Duta Besar Pertama Indonesia untuk Kanada (1953–1954) |
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika | Ketua Umum (1955) |
Perdana Menteri Indonesia | Perdana Menteri Indonesia 30 Juli 1953 – 11 Agustus 1955) |
Menteri Pertahanan Indonesia | Menteri Pertahanan Indonesia (24 Maret 1956-9 April 1957) |
Perdana Menteri Indonesia | Perdana Menteri Indonesia (24 Maret 1956–9 April 1957) |
Wakil Tetap Indonesia ke-3 untuk PBB | Wakil Tetap Indonesia ke-3 untuk PBB (1957–1960) |
Partai Nasional Indonesia | Ketua Umum (29 Juli 1960 – 27 April 1966) |
Karya Ali Sastroamidjojo
Tahun | Judul |
---|---|
1971 | Pengantar Hukum Internasional |
1972 | Kebijakan Luar Negeri Indonesia |
1974 | Buku otobiografi perjalanan dan pencapaiannya |
1975 | Empat mahasiswa Indonesia di Belanda |