Soekarni Kartodiwirjo menjadi tokoh yang terlibat dalam penculikan Soekarno dan Bung Hatta, dengan tujuan mendorong mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tindakan ini diambil karena kegelisahan atas sikap menunggu Soekarno dan Bung Hatta yang terus memperhatikan dan menilai situasi, sedangkan Jepang pada saat itu sudah menyerah kepada Sekutu.
Kisah perjalanan Soekarni dalam momen proklamasi kemerdekaan. Mengetahui sejarah perjuangan Soekarni sangatlah penting karena perannya yang signifikan dalam perjuangan kemerdekaan. Perjalanan perjuangan Soekarni dimulai sejak usia 14 tahun, ketika ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1930.
Kali ini kita akan membahas biografi Soekarni Kartodiwirjo tentang perjuangannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Table of Contents
ToggleAwal Kehidupan dan Pendidikan Soekarni
Soekarni lahir dengan nama lengkap Soekarni Kartodiwirjo pada tanggal 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Garum, Blitar Jawa Timur, dalam keluarga yang memiliki keberadaan ekonomi yang mapan pada masa itu, di mana kedua orang tuanya berprofesi sebagai pedagang di Pasar Garum, Blitar.
Awal pendidikan Soekarni dimulai di Taman Siswa, dikenal sebagai Mardisiswo, sebuah sekolah rakyat yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, di mana semangat nasionalisme telah ditanamkan dalam dirinya sejak kecil, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah.
Pada masa pendidikannya di sana, dia mendapat pengajaran dari Mohammad Anwar, seorang guru yang sangat vokal dalam semangat nasionalisme dan menentang penjajahan Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Mardisiswo, Soekarni melanjutkan studinya ke HIS Blitar, kemudian ke MULO Blitar. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di MULO, langkah pendidikan Soekarni berlanjut ke Kweekschool (Sekolah Guru) dan Volks Universiteit (Universitas Rakyat).
Aktivis
Pengenalan Soekarni terhadap gerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dimulai ketika dia masih remaja, pada usia 14 tahun, saat bergabung dengan Perhimpunan Indonesia Muda pada tahun 1930. Dari saat itu, dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang militan dan revolusioner, bahkan mendirikan Persatuan Pemuda Kita.
Saat berada di MULO, Soekarni diusir dari sekolah karena bersengketa dengan pemerintah kolonial Belanda. Namun, semangat belajarnya tidak padam; ia melanjutkan studi ke Yogyakarta, lalu ke Jakarta untuk mengikuti sekolah kejuruan guru. Dengan bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Soekarni melanjutkan pendidikannya di Bandung dalam bidang jurnalistik.
Di Bandung, kabarnya Soekarni mengikuti kursus pengkaderan politik di bawah pimpinan Soekarno. Di sinilah ia menjalin persahabatan erat dengan Wikana, Asmara Hadi, dan SK Trimurti.
Pada tahun 1934, Soekarni berhasil menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, namun Belanda mulai mencurigainya sebagai seorang pemuda militan. Pada tahun 1936, pemerintah kolonial menggerebek para pengurus Indonesia Muda. Meskipun demikian, Soekarni berhasil melarikan diri dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.
Penjajahan Jepang
Tak lama sebelum kedatangan Jepang, Soekarni ditangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke Samarinda. Namun, setelah Jepang tiba, Soekarni bersama beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana justru dilepaskan oleh Jepang. Pada awal pendudukan Jepang, Soekarni bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berganti nama menjadi Domei).
Saat masa pendudukan Jepang, Soekarni bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka menjadi pemikir di balik pembentukan partai Murba dan mengusulkan kepada anggota Murba lainnya agar Soekarni menjadi Ketua Umum.
Pada tahun 1943, bersama Chairul Saleh, Soekarni memimpin Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31. Di tempat ini, Soekarni semakin intens melatih para pemuda untuk berperjuangan demi kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana yang diketahui, dalam periode berikutnya, Menteng 31 menjadi salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh-tokoh Angkatan 45.
Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ketika berita mengenai penyerahan Jepang kepada Sekutu menyebar, pemuda-pemuda revolusioner menjadi tidak stabil. Meskipun Indonesia dalam kekosongan kekuasaan, proklamasi kemerdekaan tidak segera diumumkan.
Di saat ini, sekelompok pemuda termasuk Soekarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, menginginkan proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya. Dalam rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh pada malam 15 Agustus 1945, mereka menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak rakyat yang tidak dapat ditunda oleh pihak lain.
Mereka menekankan agar Soekarno–Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia paling lambat tanggal 16 Agustus 1945. Usulan ini ditolak oleh golongan tua yang ingin menunggu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Namun, pemuda tidak setuju dengan hal ini karena khawatir Soekarno terpengaruh Jepang dan kemerdekaan Indonesia ditunda.
Akhirnya, berdasarkan keputusan rapat terakhir pada pukul 24.00 WIB menjelang tanggal 16 Agustus 1945 di Cikini 71, Jakarta, para pemuda setuju untuk “mengamankan” Soekarno dan Hatta ke luar kota untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, terjadi penculikan Soekarno dan Hatta untuk dibawa ke Rengasdengklok.
Meskipun pelaksana rencana penculikan ini awalnya tidak jelas, pelakunya akhirnya termasuk Chaerul Saleh, Wikana, dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dr. Sutjipto, dan tentu saja Soekarni. Walaupun terjadi perbedaan pendapat antara golongan muda dan tua, Achmad Soebardjo berhasil menengahinya dengan menjanjikan bahwa proklamasi akan dilakukan pada 17 Agustus 1945 pagi.
Perumusan Naskah Proklamasi
Pada 17 Agustus 1945, mulai dari pukul 03.00 WIB, proses penyusunan naskah proklamasi dimulai dan selesai sekitar pukul 05.00 WIB. Naskah proklamasi ini dirancang oleh tiga tokoh utama, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo.
Achmad Soebardjo mengusulkan paragraf pertama dari teks proklamasi, sementara paragraf kedua diajukan oleh Mohammad Hatta. Kemudian, naskah proklamasi ditulis tangan oleh Soekarno di kediaman Laksamana Tadashi Maeda, yang kini dikenal sebagai Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat.
Setelah itu, naskah dipersembahkan kepada sekitar 40 orang dalam forum sidang untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapat persetujuan, naskah kemudian disalin dan diketik oleh Sayuti Melik. Meskipun sempat dianggap tak berguna dan dibuang, naskah tulisan tangan tersebut kemudian diambil kembali dan disimpan oleh Burhanuddin Mohammad Diah sebagai dokumen pribadi.
Hingga tahun 1995, Burhanuddin menyerahkan naskah itu kepada Presiden Soeharto, dan pada tahun yang sama, naskah tersebut disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Kemudian naskah proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan Hatta pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.
Setelah Kemerdekaan
Pada tanggal 3 September 1945, Soekarni memimpin upaya pengambil-alihan Jawatan Kereta Api, Bengkel Manggarai, dan stasiun-stasiun kereta api, menjadikannya milik pemerintah Republik Indonesia. Saat itu, kereta api adalah alat transportasi yang sangat penting, dan juga bus angkutan umum dalam kota. Dengan demikian, alat transportasi darat sepenuhnya menjadi aset pemerintah Republik Indonesia.
Soekarni juga mengambil alih kantor berita radio untuk penyebaran berita mengenai Proklamasi, serta untuk menyiarkan kebijakan pemerintah dan rencana kegiatan organisasi Komite van Aksi yang dibentuknya.
Pada awal September 1945, terdengar kabar bahwa pasukan Inggris dan Belanda akan tiba di Jakarta dan mereka menolak untuk mengakui proklamasi kemerdekaan serta pemerintah Indonesia, mengklaim bahwa dukungan rakyat Indonesia tidak mencukupi.
Untuk membuktikan bahwa proklamasi kemerdekaan dan pemerintah Indonesia mendapat dukungan rakyat, Sukarni melalui Komite van Aksi menghimpun rakyat untuk hadir dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945, yang juga menjadi peringatan satu bulan proklamasi.
Meskipun tidak mendapatkan izin dari penguasa militer Jepang dan pimpinan pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda), para pemuda tetap melaksanakannya, dan ini menjadi penggalangan massa terbesar pertama untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia.
Soekarni kemudian terpilih sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), parlemen pertama Republik Indonesia. Dia termasuk dalam kelompok penentang jalur perundingan dengan Belanda. Pada awal tahun 1946, kelompok penentang membentuk Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Jawa Tengah, yang dipimpin oleh tokoh senior perjuangan, Tan Malaka. Mereka menentang perundingan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Dalam perjuangan mereka, Persatuan Perjuangan menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang dikecam oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Pemerintah menangkap Tan Malaka dan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan lainnya, termasuk Soekarni, yang diduga sebagai pendukung Persatuan Perjuangan di BPKNIP. Namun, Soekarni dibebaskan pada pertengahan tahun 1947 setelah kesalahannya tidak terbukti.
Partai MURBA
Pada tahun 1948, Soekarni terpilih sebagai Ketua Umum Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), sebuah partai berbasis sosialis. Di dalam kapasitas ini, ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Partai Murba berpartisipasi dalam pemilu 1955, dan Soekarni mewakili kepentingan Murba di Badan Konstituante. Badan Konstituante bertugas menyusun konstitusi baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Soekarni mendukung Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, yang mengakhiri tugas Badan Konstituante.
Pada tahun 1960, Presiden Soekarno menunjuk Soekarni sebagai Duta Besar Penuh Indonesia untuk Republik Rakyat Cina dan Mongolia. Tugas utamanya adalah memperoleh dukungan politik dan bantuan militer dari pemerintah RRT untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam merebut Irian Barat dari pemerintah Belanda. Dalam menjalankan tugasnya, Soekarni berhasil memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Cina untuk Indonesia.
Soekarni menyelesaikan masa tugasnya sebagai Duta Besar pada bulan Maret 1964. Namun, ia berseberangan dengan kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan partai Murba yang ia pimpin. Karena perlawanannya, Soekarni ditahan oleh Presiden Soekarno. Pada bulan Oktober 1966, Jenderal Soeharto membebaskannya dari penjara dan menunjuknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Wafat
Soekarni Kartodiwirjo wafat pada tanggal 7 Mei 1971 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sebagai penghormatan atas perannya, Presiden Jokowi menetapkan Soekarni Kartodiwirjo sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 7 November 2014.
Bio Data Soekarni Kartodiwirjo
Nama Lengkap | Soekarni Kartodiwirjo |
Nama Kecil | Soekarni |
Nama Lain | – |
Lahir | Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1912 |
Wafat | Jakarta, 7 Mei 1971 |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Aktivis kemerdekaan, politisi, diplomat |
Partai Politik | Partai Murba |
Keluarga | |
Ayah | Dimoen Kartodiwirjo |
Ibu | Pidjah |
Istri | – |
Anak | – |
Saudara | Hono Karto Dihardjo Soekarmilah (Ny. H. Sopran) Soekardi Soekarlim Soekarti (Ny. Sastro Roesdi) Karmijem (Ny. Parto Widjono) Endang Sartini (Ny. Muslimin) Soekarpo (Endi Soekarto) Soekarjo |
Riwayat Pendidikan Soekarni Kartodiwirjo
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Sekolah Rakyat | Sekolah Mardisiswo di Blitar |
HIS | HIS Blitar |
MULO | MULO Blitar |
Kweekschool | |
Volks Universteit |
Karir Soekarni Kartodiwirjo
Organisasi/Lembaga | Jabatan |
---|---|
Perhimpunan Indonesia Moeda | Anggota (1930) |
Perhimpunan Indonesia Moeda | Ketua Pengurus Besar |
ANTARA | Pegawai (1940 – 1941) |
Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 | Ketua (1943) |
Comite Van Aksi | Pendiri (18 Agustus 1945) |
Persatuan Perjuangan | Sekretaris Jenderal |
Partai Murba | ketua umum (November 1948) |
BKNIP | Anggota |
Duta Besar Penuh untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia | Duta Besar Penuh |
Dewan Pertimbangan Agung | Dewan Pertimbangan Agung (Oktober 1966) |
Penghargaan Soekarni Kartodiwirjo
Tahun | Penghargaan |
---|---|
7 November 2014 | Pahlawan Nasional Indonesia |
Penghargaan Bintang Soekarni Kartodiwirjo
Penghargaan | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Adipradana (6 November 1973) | |
Bintang Mahaputera Pratama (17 Agustus 1961) |