Pangeran Antasari merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari keluarga Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan. Ia dikenal luas sebagai pemimpin perjuangan rakyat Banjar dalam melawan penjajahan Belanda di tanah Kalimantan.
Pangeran Antasari merupakan sosok yang taat beragama, jujur, ikhlas, serta dermawan. Akhlaknya yang baik membuatnya dihormati dan dijadikan panutan oleh berbagai kalangan, khususnya masyarakat Banjar. Karena wibawa dan ketokohannya, ia kemudian diangkat sebagai “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin”, sebuah gelar yang menandakan dirinya sebagai pemimpin pemerintahan, panglima perang, sekaligus pemuka agama tertinggi di wilayah Banjar.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Kehidupan Awal
Pangeran Antasari lahir pada 20 Februari 1809 di Keraton Pagatan, Kalimantan Selatan. Ia merupakan keturunan langsung dari Kesultanan Banjar, salah satu kerajaan besar di Kalimantan yang memiliki pengaruh kuat pada abad ke-18 dan ke-19. Ayahnya, Sultan Muhammad Seman, adalah sultan yang disegani, sementara ibunya berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama.
Kakeknya, Pangeran Amir, juga dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dalam sejarah Kesultanan Banjar. Ia pernah berjuang mempertahankan kedaulatan kerajaan dari campur tangan kolonial Belanda. Semangat perjuangan inilah yang kemudian diwariskan kepada Pangeran Antasari sejak masa kecilnya. Lingkungan kerajaan yang religius dan nasionalis menumbuhkan dalam dirinya rasa tanggung jawab besar terhadap rakyat dan tanah kelahiran.
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Sebagai keturunan bangsawan Banjar, Pangeran Antasari mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik di lingkungan istana. Sejak kecil, ia telah diajarkan berbagai pengetahuan tentang agama Islam, adat istiadat, serta tata pemerintahan kerajaan. Pendidikan agama menjadi pondasi utama dalam kehidupannya, karena keluarga kerajaan Banjar dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Di bawah bimbingan para ulama dan guru istana, Pangeran Antasari mempelajari Al-Qur’an, fikih, tauhid, serta sejarah Islam. Selain itu, ia juga diajarkan ilmu pemerintahan dan strategi kepemimpinan, yang kelak menjadi bekal penting dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda. Perpaduan antara pendidikan spiritual dan intelektual tersebut membentuk dirinya menjadi sosok pemimpin yang beriman, tegas, dan berwawasan luas.
Kehidupan di lingkungan kerajaan memberinya pemahaman mendalam tentang keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab moral. Ia belajar bahwa seorang pemimpin bukan hanya mengatur rakyat, tetapi juga wajib melindungi dan menegakkan keadilan. Nilai-nilai inilah yang menumbuhkan kesadaran politik dan sosial dalam dirinya sejak usia muda.
Selain pendidikan formal istana, pengalaman hidup juga banyak membentuk kepribadiannya. Ia tumbuh dalam masa yang penuh gejolak, ketika pengaruh Belanda mulai merasuk ke dalam Kesultanan Banjar dan menimbulkan konflik internal di tubuh kerajaan. Situasi ini menumbuhkan rasa keprihatinan sekaligus keberanian dalam diri Antasari untuk menentang segala bentuk penindasan.
Pangeran Antasari tidak hanya belajar teori kepemimpinan, tetapi juga mempraktikkannya melalui sikap teladan sehari-hari. Ia senantiasa menghormati rakyat kecil dan mendengarkan keluhan mereka, mencerminkan karakter pemimpin yang dekat dengan masyarakat.
Perjuangan Awal
Setelah dewasa, Pangeran Antasari mulai terlibat secara aktif dalam urusan pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Banjar. Sebagai keturunan langsung keluarga kerajaan, ia memikul tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya dalam menjaga kedaulatan dan kehormatan Kesultanan Banjar. Pada masa itu, pengaruh kolonial Belanda semakin kuat di Kalimantan Selatan, terutama setelah mereka ikut campur dalam penentuan takhta dan urusan ekonomi kerajaan.
Pangeran Antasari menentang keras intervensi tersebut. Ia menilai bahwa campur tangan Belanda telah menodai kedaulatan kerajaan dan merugikan rakyat Banjar. Keteguhan sikapnya membuatnya sering berseberangan dengan pihak istana yang lebih memilih berdamai dengan Belanda demi keamanan politik. Namun, bagi Antasari, kedaulatan bangsa jauh lebih berharga daripada kompromi dengan penjajah.
Sebelum memimpin perlawanan bersenjata, Antasari lebih dulu dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam menyatukan kembali para bangsawan dan tokoh masyarakat yang terpecah akibat politik adu domba Belanda. Ia berkeliling ke berbagai wilayah di Kalimantan Selatan, termasuk Martapura, Hulu Sungai, dan Tanah Laut, untuk memperkuat persatuan rakyat. Upayanya ini perlahan menumbuhkan kembali semangat perjuangan yang sempat melemah di kalangan bangsawan Banjar.
Selain menjadi tokoh politik dan sosial, Pangeran Antasari juga dikenal sebagai pemimpin spiritual. Ia dihormati sebagai ulama yang berilmu dan berakhlak mulia, sehingga memiliki pengaruh besar dalam membangkitkan kesadaran keagamaan masyarakat. Nilai-nilai Islam yang ditanamkannya menjadi landasan moral dalam setiap perjuangan melawan penjajahan.
Pada periode inilah, Pangeran Antasari mulai menunjukkan kemampuan diplomasi dan strategi militer. Ia berhasil membangun jaringan komunikasi dengan para kepala suku Dayak dan tokoh-tokoh lokal lainnya untuk menyatukan kekuatan melawan Belanda. Persatuan lintas suku dan agama yang dipeloporinya menjadi modal penting dalam Perang Banjar yang pecah pada tahun 1859.
Sebagai pemersatu bangsa Banjar menjadikan Pangeran Antasari tidak hanya dihormati sebagai bangsawan, tetapi juga sebagai pemimpin rakyat yang berjiwa nasionalis dan religius. Dari sinilah namanya mulai dikenal luas di seluruh Kalimantan, bahkan hingga ke luar pulau.
Perang banjar
Puncak perjuangan Pangeran Antasari terjadi pada masa Perang Banjar (1859 – 1863), sebuah perlawanan besar yang menandai kebangkitan rakyat Kalimantan Selatan melawan kekuasaan kolonial Belanda. Konflik ini bermula dari ketidakpuasan rakyat Banjar terhadap campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan, terutama setelah mereka ikut menentukan siapa yang berhak naik takhta. Tindakan itu memicu kemarahan rakyat dan para bangsawan yang masih setia pada nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan.
Sebagai keturunan langsung dari keluarga kerajaan dan tokoh yang disegani, Pangeran Antasari sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan tersebut. Dengan semangat jihad fi sabilillah, ia memimpin pasukan gabungan yang terdiri dari orang Banjar, suku Dayak, serta pejuang dari berbagai daerah di Kalimantan. Di bawah kepemimpinannya, semangat persatuan dan keberanian rakyat Banjar mencapai puncaknya.
Perlawanan besar dimulai pada 25 April 1859, ketika pasukan rakyat menyerang tambang batubara milik Belanda di Pengaron dan pos-pos pertahanan kolonial di Martapura dan Banjarmasin. Aksi ini menandai dimulainya Perang Banjar secara terbuka. Meskipun kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar dan memiliki perlengkapan modern, Pangeran Antasari mampu mengimbangi dengan strategi gerilya dan pengetahuan medan yang luas.
Salah satu kontribusi terbesarnya adalah kemampuannya menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama dalam satu tujuan: membebaskan tanah Banjar dari penjajahan. Ia tidak hanya menjadi panglima perang, tetapi juga sebagai pemimpin moral dan spiritual. Gelar yang disandangnya, “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin”, mencerminkan posisi Antasari sebagai pemimpin tertinggi baik dalam bidang pemerintahan maupun keagamaan.
Dalam berbagai pertempuran, seperti di Gunung Lawak, Gunung Madang, dan Hulu Sungai, pasukan yang dipimpinnya memberikan perlawanan sengit terhadap Belanda. Meskipun mengalami banyak kesulitan akibat keterbatasan persenjataan dan logistik, semangat juang pasukan Antasari tidak pernah surut. Ia menolak setiap tawaran perdamaian yang disertai dengan penyerahan diri kepada Belanda, dengan tegas menyatakan bahwa “hidup dan mati hanya untuk kemerdekaan Banjar.”
Perang Banjar berlangsung selama bertahun-tahun dan menjadi simbol keteguhan rakyat Kalimantan dalam mempertahankan harga diri bangsanya. Walau akhirnya kekuatan Belanda berhasil memukul mundur sebagian besar pasukan Banjar, semangat perjuangan yang ditanamkan oleh Pangeran Antasari terus berkobar di hati rakyat.
Tantangan, Kontroversi, dan Pandangan Hidup
Perjuangan Pangeran Antasari tidak terlepas dari berbagai tantangan besar, baik yang datang dari musuh kolonial maupun dari kalangan internal bangsawan sendiri. Salah satu rintangan terbesar yang ia hadapi adalah politik adu domba yang dijalankan oleh Belanda di dalam tubuh Kesultanan Banjar.
Melalui politik ini, Belanda berupaya memecah belah para bangsawan dan tokoh masyarakat agar saling bersaing dalam perebutan kekuasaan. Situasi tersebut menciptakan ketegangan dan menghambat upaya penyatuan kekuatan rakyat Banjar.
Selain menghadapi intrik politik, Antasari juga dihadapkan pada keterbatasan sumber daya dan persenjataan dalam perjuangannya. Pasukannya yang terdiri dari rakyat biasa dan pejuang lokal harus melawan tentara kolonial yang memiliki peralatan militer modern. Kondisi ini menuntut kecerdikan dan keteguhan hati. Ia pun menerapkan strategi gerilya dengan memanfaatkan kondisi alam Kalimantan yang luas dan sulit dijangkau sebagai keunggulan taktis.
Di sisi lain, muncul pula kontroversi internal di antara sebagian bangsawan yang memilih bersekutu dengan Belanda demi mempertahankan posisi mereka di pemerintahan. Sikap kompromistis ini sering kali melemahkan perjuangan rakyat. Namun, Pangeran Antasari tetap teguh menolak segala bentuk kerja sama dengan penjajah. Ia meyakini bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai melalui negosiasi dengan penindas, melainkan harus diperjuangkan dengan keberanian dan pengorbanan.
Pandangan hidup Pangeran Antasari sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan keadilan sosial. Ia memandang kepemimpinan sebagai amanah, bukan kehormatan pribadi. Bagi Antasari, seorang pemimpin harus berani menegakkan kebenaran, melindungi rakyat, dan mengorbankan diri demi kepentingan bangsa. Ia juga menekankan pentingnya persatuan antara rakyat Banjar dan suku Dayak, tanpa memandang perbedaan suku atau agama, karena persatuan adalah kunci kekuatan dalam melawan penjajahan.
Dalam berbagai kesempatan, Pangeran Antasari mengingatkan para pengikutnya agar tidak tergoda kekuasaan atau harta, sebab hal itu hanya akan melemahkan semangat perjuangan. Ia menanamkan nilai keikhlasan dan keteguhan hati, menegaskan bahwa perjuangan suci harus dilakukan “karena Allah dan demi kemerdekaan umat.” Pandangan ini menjadikannya bukan hanya sebagai pemimpin militer, tetapi juga tokoh spiritual dan moral bagi rakyatnya.
Akhir Hayat
Menjelang akhir hayatnya, Pangeran Antasari tetap berada di garis depan perjuangan, memimpin perlawanan rakyat Banjar melawan kekuatan kolonial Belanda. Walaupun kondisi fisiknya mulai menurun akibat usia dan penyakit, semangat juangnya tidak pernah padam. Ia terus berkeliling dari satu wilayah ke wilayah lain di pedalaman Kalimantan untuk mengoordinasikan perlawanan bersama para panglima setia seperti Tumenggung Surapati, Gusti Umar, dan Kiai Adipati Anom Dinding Raja.
Namun, kondisi medan perang yang berat, kurangnya logistik, dan tekanan pasukan Belanda yang terus meningkat membuat situasi semakin sulit. Pangeran Antasari menderita penyakit paru-paru dan cacar akibat kerasnya kehidupan di hutan dan sering berpindah tempat. Meski demikian, beliau tetap bertekad tidak akan pernah menyerah kepada penjajah, sebagaimana semboyan hidupnya yang terkenal:
“Haram menyerah kepada musuh!”
Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat di Bayan Begok, wilayah Murung Raya (sekarang Kalimantan Tengah), dalam usia sekitar 53 tahun. Beliau menghembuskan napas terakhir di tengah para pengikutnya yang masih berjuang, tanpa pernah tertangkap atau tunduk kepada Belanda.
Setelah wafat, jenazah Pangeran Antasari dimakamkan di pedalaman Sungai Barito. Sekitar 91 tahun kemudian, atas permintaan masyarakat Banjar dan persetujuan keluarga, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Perang Banjar di Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin, pada 11 November 1958. Pemindahan ini dimaksudkan agar jasa dan perjuangannya dapat lebih dikenang oleh generasi penerus.
Perjuangan Pangeran Antasari tidak berhenti dengan kematiannya. Semangatnya diteruskan oleh putranya, Sultan Muhammad Seman, serta para panglima dan kerabat lain seperti Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) dan Ratu Zaleha. Mereka melanjutkan perlawanan terhadap Belanda di berbagai wilayah Kalimantan hingga akhir abad ke-19.
Penghargaan dan Warisan
Pengabdian dan perjuangan Pangeran Antasari dalam memimpin rakyat Banjar melawan penjajahan Belanda akhirnya mendapat pengakuan yang tinggi dari bangsa Indonesia. Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menegakkan semangat kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan rakyat, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada beliau pada tanggal 27 Maret 1968, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 06/TK/1968.
Penghargaan ini menjadi bentuk penghormatan atas dedikasi beliau sebagai salah satu tokoh pejuang yang konsisten melawan kolonialisme tanpa pernah menyerah. Nama Pangeran Antasari kemudian diabadikan di berbagai tempat dan lembaga penting, antara lain sebagai nama jalan utama di sejumlah kota di Indonesia, nama kapal perang TNI Angkatan Laut (KRI Antasari), hingga nama universitas di Kalimantan Selatan, yaitu Universitas Lambung Mangkurat yang menjadikan beliau sebagai salah satu inspirasi perjuangan lokal.
Selain itu, potret Pangeran Antasari juga pernah menghiasi uang kertas pecahan Rp2.000 keluaran tahun 2009, sebagai simbol penghargaan atas jasa-jasa kepemimpinannya dalam melawan penjajahan dan mempersatukan rakyat Banjar. Ia juga dijadikan ikon dalam berbagai karya seni, monumen, dan penamaan institusi pendidikan di Kalimantan, yang semuanya mencerminkan penghormatan mendalam masyarakat terhadap warisan perjuangannya.
Sumber:
- Nursahid. “Biografi Pangeran Antasari.” OSF Preprints, 18 May 2021. https://doi.org/10.31219/osf.io/q8rnf.
- “Biografi Pangeran Antasari, Pemimpin Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan” kumparan.com (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Biografi Pangeran Antasari dan Perjuangannya” idsejarah.net (diakses 7 Januari 2025)
- Nurhalisa. “SEJARAH PANGERAN ANTASARI DALAM PERANG BANJAR (1859-1862).” OSF Preprints, 11 June 2022. https://doi.org/10.31219/osf.io/ydg2j.
- “Medan Perang Pangeran Antasari” www.historia.id (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Biografi Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional Pemimpin Perang Banjar” www.inews.id (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Kisah Pangeran Antasari, Sultan Banjar yang Gigih Melawan Penjajah” news.okezone.com (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Pangeran Antasari” ikpni.or.id (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Biografi Pangeran Antasari sang Pemimpin Perang Banjar” www.idntimes.com (diakses pada 8 Oktober 2025)
- “Profil Pangeran Antasari sebagai Pemimpin Perang Banjar” kumparan.com(diakses pada 8 Oktober 2025)