Chaerul Saleh adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama pada masa menjelang proklamasi dan era Demokrasi Terpimpin. Sebagai seorang pemuda yang berani, Chaerul terlibat langsung dalam Peristiwa Rengasdengklok, bersama Sukarni, Wikana, dan kawan-kawan lainnya, untuk mendesak Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Selain dikenal sebagai tokoh perumus naskah proklamasi, Chaerul Saleh juga aktif dalam dunia politik setelah kemerdekaan. Ia menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada periode 1960-1965, serta dipercaya memegang beberapa jabatan menteri dalam kabinet Presiden Soekarno. Bahkan, ia sempat menjadi Wakil Perdana Menteri III di Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I.
Namun, perjalanan politiknya tidak selalu mulus. Chaerul pernah dipenjara, beroposisi terhadap pemerintah, hingga akhirnya ditahan pada masa pasca-G30S/PKI. Ia meninggal di Jakarta pada 8 Februari 1967 dalam status tahanan, tanpa ada penjelasan resmi dari pemerintah. Meski begitu, namanya tetap dikenang sebagai pejuang dan politisi yang ikut memberi warna dalam sejarah perjalanan bangsa.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Pendidikan Chaerul Saleh
Chaerul Saleh lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 13 September 1916 dengan nama lengkap Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo. Ayahanya bernama Achmad Saleh merupakan seorang dokter yang sempat menjadi calon anggota Volksraad dan ibunya bernama Zubaidah binti Ahmad Marzuki.
Chaerul Saleh tumbuh dalam lingkungan Minangkabau yang kuat memegang tradisi sekaligus terbuka terhadap gagasan pembaruan. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang kritis dan gemar membaca. Pendidikan dasarnya ditempuh di Sekolah Rakyat (SR) di Medan, kemudian dilanjutkan hingga tamat di Bukittinggi pada 1931.
Setelah itu, Chaerul menempuh pendidikan menengah di Hogere Burgerschool (HBS) bagian B di Medan, dan berhasil menyelesaikannya di Jakarta pada 1937. Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya melanjutkan studi ke Recht School di Batavia pada periode 1937–1942.
Di masa kuliah, ia mulai menunjukkan jiwa kepemimpinan dan kepeduliannya terhadap perjuangan nasional. Ia aktif dalam organisasi kepemudaan, salah satunya dengan menjabat sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940–1942). Masa ini menjadi dasar yang membentuk wataknya sebagai pemimpin dan pejuang yang kritis terhadap penjajahan maupun pemerintahan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Aktivisme Pemuda dan Peristiwa Rengasdengklok
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada awal 1940-an, Chaerul Saleh sempat terlibat dalam beberapa organisasi bentukan Jepang, seperti Seinendan dan Angkatan Muda Indonesia. Namun, pandangannya segera berubah. Ia menyadari bahwa organisasi tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan Jepang daripada perjuangan bangsa. Dari sinilah sikap anti-Jepang semakin tumbuh kuat dalam dirinya.
Chaerul kemudian ikut mendirikan Barisan Banteng, serta aktif dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan Barisan Pelopor yang dipimpin Soekarno. Selain itu, ia juga terlibat dalam Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda yang menegaskan posisinya sebagai salah satu pemimpin muda paling vokal pada masa itu.
Pada Peristiwa Rengasdengklok. Bersama Sukarni, Wikana, dan pemuda Menteng 31 lainnya, Chaerul Saleh menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Tindakan ini dilakukan untuk mendesak kedua tokoh tersebut segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu instruksi Jepang.
Keberanian Chaerul dan kawan-kawan terbukti berhasil. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta akhirnya membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Dengan demikian, nama Chaerul Saleh tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pemuda yang berperan penting dalam percepatan proklamasi bangsa.
Persatuan Perjuangan
Setelah proklamasi, Chaerul Saleh tidak berhenti dalam aktivitas politiknya. Ia bergabung dengan Persatuan Perjuangan (PP), sebuah organisasi politik yang diprakarsai Tan Malaka di Surakarta pada 4–5 Januari 1946. Awalnya, organisasi ini bernama Volksfront, sebelum akhirnya diubah menjadi Persatuan Perjuangan dengan program utama menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda yang tidak didasarkan pada pengakuan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia.
Persatuan Perjuangan sempat mendapat dukungan luas dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) serta berbagai organisasi masyarakat. Pada sidang KNIP di Solo, Februari–Maret 1946, PP berhasil menekan kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu kompromistis dengan Belanda. Akibatnya, Kabinet Syahrir I jatuh, meski Presiden Soekarno kemudian kembali menunjuk Syahrir untuk membentuk kabinet baru.
Namun, sikap keras Persatuan Perjuangan membuatnya sering berbenturan dengan pemerintah. Pada 17 Maret 1946, sejumlah tokoh PP seperti Tan Malaka, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Muhammad Yamin ditangkap. Meskipun PP dibubarkan pada 4 Juni 1946, semangat perlawanan tetap hidup. Bahkan, kelompok ini sempat melakukan aksi dramatis berupa penculikan Perdana Menteri Syahrir pada 26 Juni 1946, yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Peristiwa 3 Juli 1946.
Partai Murba dan Politik Nasional
Pasca bubarnya Persatuan Perjuangan, Chaerul Saleh tidak berhenti berkiprah dalam dunia politik. Ia bersama tokoh-tokoh lain seperti Tan Malaka, Adam Malik, Sukarni, dan Prijono kemudian membentuk organisasi baru yang lebih terstruktur. Pada 3 Oktober 1948, sejumlah organisasi kiri dan progresif bergabung dan melebur menjadi Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Chaerul menjadi salah satu tokoh penting dalam partai tersebut, bersama kawan-kawan seperjuangannya.
Partai Murba menempatkan diri sebagai partai yang berorientasi pada perjuangan rakyat kecil. Dalam masa revolusi fisik, Chaerul Saleh ikut bergerilya bersama pasukan rakyat. Ia pernah bergabung dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, mengikuti Long March Divisi Siliwangi dari Yogyakarta menuju Karawang dan Sanggabuana, serta berjuang bersama Divisi Tentara Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
Namun, sikap kritisnya kembali membawanya pada konflik politik. Ia menolak hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 karena dianggap merugikan kedaulatan Indonesia. Penolakan itu membuatnya sempat ditangkap dan dipenjara antara tahun 1950–1952. Setelah bebas, Chaerul Saleh dikirim oleh Presiden Soekarno untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Bonn, Jerman Barat (1952–1955). Di sana, ia aktif menghimpun mahasiswa Indonesia dan ikut mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Kepulangannya ke tanah air pada 1956 membawa babak baru. Meskipun Partai Murba gagal meraih suara banyak dalam Pemilu 1955 (hanya mendapat dua kursi dari 257 yang tersedia), Chaerul tetap diperhitungkan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno justru melibatkan tokoh-tokoh Murba untuk menyeimbangkan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini membuka jalan bagi Chaerul untuk masuk ke jajaran pemerintahan.
Jabatan di Pemerintahan
Kiprah Chaerul Saleh dalam dunia politik nasional semakin menonjol ketika ia dipercaya masuk ke kabinet pemerintahan Presiden Soekarno. Setelah kembali dari Jerman pada akhir 1956, Chaerul segera dilibatkan dalam organisasi veteran. Pada 9 April 1957, ia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Veteran dalam Kabinet Djuanda.
Kariernya terus menanjak. Pada 10 Juli 1959, Chaerul menjabat sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan dalam Kabinet Kerja I. Jabatan ini kemudian berlanjut pada Kabinet Kerja II dan III (1960–1963), kali ini sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Di bawah kepemimpinannya, sektor pertambangan menjadi salah satu fokus penting pembangunan ekonomi nasional pada era Demokrasi Terpimpin.
Tidak berhenti sampai di situ, Chaerul Saleh juga dipercaya menduduki jabatan strategis lainnya. Ia diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada periode 1960–1965. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri III dalam Kabinet Kerja IV serta Kabinet Dwikora I (1963–1966).
Kepercayaan besar yang diberikan Soekarno kepada Chaerul Saleh menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang aktivis muda yang vokal, melainkan juga seorang politisi matang yang mampu mengelola kekuasaan. Namun, kedudukannya yang tinggi dalam pemerintahan juga membuatnya terlibat dalam dinamika politik nasional, termasuk pertentangan sengit antara Murba dan PKI.
Konflik dengan PKI dan Akhir Hayat
Memasuki pertengahan 1960-an, posisi Chaerul Saleh semakin rumit akibat pertarungan politik antara Partai Murba dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada saat itu, PKI kian kuat dan memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Untuk menandingi dominasi PKI, Murba bersama sejumlah elemen militer dan tokoh lain membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Namun, langkah ini justru berbalik arah. Alih-alih memperkuat posisi Murba, Presiden Soekarno malah membubarkan BPS. Bahkan, beberapa tokoh Murba seperti Sukarni dan Syamsudin Chan ditangkap pada awal 1965. Murba kemudian dibekukan, dan pada September 1965 secara resmi dibubarkan, dengan tuduhan menerima bantuan dana dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Meski begitu, Soekarno sempat merehabilitasi partai ini lewat Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Peristiwa G30S/PKI pada 1965, dalam kondisi politik yang kacau, Chaerul Saleh ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Sayangnya, tidak pernah ada penjelasan resmi mengenai alasan penahanannya. Ia kemudian meninggal dunia pada 8 Februari 1967 di Jakarta, dalam status sebagai tahanan.
Meski akhir hidupnya penuh kontroversi, jasa Chaerul Saleh tetap diakui oleh negara. Atas perannya dalam perjuangan kemerdekaan dan kontribusinya di bidang politik maupun pemerintahan, ia dianugerahi sejumlah gelar dan tanda kehormatan. seperti Pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD atas jasanya dalam bidang kemiliteran, Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Penghargaan-penghargaan tersebut menjadi pengakuan atas kontribusinya dalam sejarah perjuangan Indonesia, meskipun hidupnya diwarnai pasang surut dan berakhir tragis.
Sumber:
- “Politisi Murba, Jenderal Kehormatan TNI AD” tokoh.id (diakses pada 7 September 2025)
- “Chaerul Saleh, Pahlawan Bangsa yang Mati dalam Penjara” koransulindo.com (diakses pada 7 September 2025)
- “Chaerul Saleh, Menteri Loyalis Soekarno yang Ikut Ditangkap Pasca G30S” merdeka.com (diakses pada 7 September 2025)
- “Chaerul Saleh, Pejuang Kemerdekaan yang Mati Tanpa Kejelasan” kompas.com (diakses pada 7 September 2025)
1 Comment
[…] https://arsipmanusia.com/biografi/pemimpin/biografi-chaerul-saleh-tokoh-pemuda-dan-politikus-indones… […]