Jamin Ginting merupakan Pahlawan Nasional Indonesia dan diakui sebagai kebanggaan masyarakat Karo. Namanya diabadikan menjadi nama jalan terpanjang di Indonesia yang bermula dari Kota Medan lalu melintasi Kabupaten Deli Serdang dan ujungnya berada di Kabupaten Karo, total panjang jalan itu adalah 71,3 km.
Table of Contents
ToggleMasa kecil dan Pendidikan
Jamin Ginting lahir pada tanggal 12 Januari 1921 di Desa Suka, Tigapanah, Karo, Sumatera Utara dengan nama Jamin Ginting Suka, ia sering menyingkat namanya menjadi Jamin Gintings.
Ayahnya bernama Lantak Ginting Suka, merupakan seorang penghulu desa, karena kedudukan ayahnya ini, Jamin Ginting bisa mendapatkan pendidikan Belanda. Ibunya bernama Tindang Tarigan.
Jamin Ginting memulai pendidikan dasarnya di Kabanjahe dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Kota Medan. Pendidikan menengahnya di Kota Medan tidak sempat ia selesaikan, karena pada saat itu Jepang sudah masuk dan meguasai Indonesia.
Pendidikan Militer
Jamin Ginting mengikuti pendidikan calon perwira Gyugun di Siborong-borong pada masa penjajahan Jepang tahun 1943 dan akhirnya ia berhasil menjadi perwira Gyugun dengan pangkat Letnan.
Jamin Ginting ditugaskan menjadi komandan pengawal di Pangkalan Brandan, lalu ia dipindahkan ke Blangkejeren, Aceh Tenggara. Di Blangkejeren ini, ia menjadi komandan Kompi Istimewa Gyugun dan satu-satunya perwira yang berasal dari golongan pribumi.
Selama menjadi perwira Gyugun, Jamin melatih para pemuda setempat untuk dijadikan prajurit tanah air, yang kemudian banyak dari para pemuda itu menjadi prajurit pejuang tanah air Indonesia.
Pejuang Kemerdekaan.
Jepang kalah dalam Perang Dunia II, pasukan-pasukannya yang berasal dari putera daerah di tanah jajahannya pun ditelantarkan. Jamin Ginting sebagai komandan pasukan dengan cepat menggabungkan pasukannya untuk membangun satuan tentara di Karo.
Ia meyakinkan anggotanya untuk tidak kembali ke daerah masing-masing, dan meminta mereka untuk bersedia membela dan melindungi masyarakat Karo.
Jamin Ginting bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Kabanjahe yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945.
Jamin Ginting dan pasukannya melucuti senjata tentara Jepang yang masih berada di Tigapanah, dan juga terjadi kontak senjata dengan pasukan Inggris yang mencoba masuk ke Brastagi.
Pasukan Jamin Ginting merupakan bagian dari TKR A yang berpusat di Kabanjahe dan bagian dari wilayaha komando Sumatera Timur.
Jamin Ginting menjabat sebagai Komandan Batalyon II TKR Kabanjahe, lalu kemudian ia diangkat menjadi Wakil kepala Staf Divisi IV TKR Sumetera Timur di Medan.
Pasukan pimpinan Jamin Ginting juga ikut dalam pertempuran Medan Area, Pertempuran ini berakhir dengan pasukan Inggris dan Belanda meninggalkan Kota Medan pada Desember 1946.
Setelah Pertempuran Medan Area ini, Jamin Ginting diangkat menjadi Komandan I Resimen II TRI Tanjung Balai, dan pada saat yang sama ia dipilih menjadi Ketua Biro Perjuangan Daerah XXXIX Sumatera Timur.
Agresi Militer Belanda
Pada tanggal 21 Juli 1947, pasukan Belanda melakukan agresi militer pertamanya ke seluruh wilayah Indonesia termasuk Kota Medan dan sekitarnya. Jamin Ginting memimpin perlawanan di Front Tanah Karo (Sibolangit, Pancurbatu, Tuntungan, Merek dan Seribodolok).
Jamin Ginting Memindahkan markas komando nya ke Bukit Tusam, Tanah Alas, Aceh Tengah, karena terdesak oleh pasukan Belanda. Jamin Ginting memindahkan markasnya untuk mempersiapkan serangan kepada pasukan Belanda secara gerilya.
Jamin juga melaksanakan misi pengawalan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Brastagi ke Bukit Tinggi. Saat itu rute Brastagi-Bukit Tinggi telah dikuasai oleh pasukan Belanda, dengan kawalan Jamin Ginting, Wakil Presiden berhasil sampai di Bukit Tinggi dengan selamat.
Setelah diadakannya Perundingan Renville pada tahun 1947, perang terhadap pasukan Belanda pun dihentikan. Dari perundingan itu, Tanah Karo sampai perbatasan alas menjadi milik Belanda. Jamin Ginting dan pasukannya pun harus mundur hingga ke Kutacane, Aceh Tengah.
Dari perundingan itu juga, bentuk negara Indonesia diubah menjadi bentuk serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian, di antara negara bagian itu adalah Negara Sumatera Timur (NST). Bentuk serikat ini merupakan bagian dari rencana Belanda untuk melemahkan Pemerintahan Indonesia.
NST mencakup wilayah yang kaya akan minyak, perkebunan tembakau dan karet. Negara ini juga didukung oleh bangsawan-bangsawan Melayu, Raja Simalungun, Kepala Suku Tanah Karo, dan Tokoh Cina.
Dengan terbentuknya NST, muncul tiga kekuatan militer yaitu: Pasukan Indonesia, Pasukan NST, dan Pasukan Belanda. Pasukan NST sering bekerjasama dengan Pasukan Belanda untuk menyerang Pasukan Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Pasukan Belanda kembali melakukan Agresi Militernya yang ke-2 untuk merebut Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya. Para petinggi negara ditangkap oleh Pasukan Belanda, termasuk Soekarno dan Hatta.
Panglima Soedirman menginstruksikan untuk melanjutkan perjuangan gerilya. Jamin Ginting melaksanakan perintah Soedirman, dengan melanjutkan perjuangan gerilya di Kota Medan dan sekitarnya.
Pada tanggal 23 Sesember 1948, pasukan Jamin Ginting menyerang pos terdepan pasukan Belanda di Tanah Karo dan berhasil menguasai pos militer itu.
Pasukan Jamin Ginting bergerak di Selalwang, Bukum, Basukum, Pernagenen, Batusianggehen, Layosigayo, Namo Cengkih, dan sekitarnya.
Pada akhir tahun 1949, setelah melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Belanda akhirnya disepakati untuk melakukan gencatan senjata dan mengakui kedaulatan Pemerintah Indonesia.
Penumpasan Pemberontakan
Jamin Ginting diangkat menjadi Komando Basis Kota Medan (KBKM) yang kemudian namanya diubah menjadi Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan, yang kelak akan menjadi Komando Militer Bukit Barisan.
Jamin Ginting kemudian diangkat menjadi Komandan Resimen II Sumatera Timur. Ketika menjabat sebagai Komandan Resimen, pasukannya ikut dalam operasi penumpasan pasukan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Teungku Daud Beureueh di Aceh. Jamin Ginting juga memimpin pasukannya dalam penumpasan Organisasi Pertahanan Desa (OPD) yang dipengaruhi oleh komunis.
Panglima TT01BB
Jamin Ginting diangkat menjadi Kepala Staf Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT01BB) yang berpusat di Medan.
Setelah pemilu tahun 1955, banyak panglima teritorium menentang kebijakan Pemerintahan Pusat. Mereka yang berada di Sumatera tergabung dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan yang di Sulawesi tergabung dalam Pemerintahan Rakyat Semesta (PERMESTA).
Awalnya Jamin Ginting ikut mendukung pergerakan PRRI di Sumatera bersama perwira lainnya, namun Jamin Ginting memutar haluan dan mendukung Pemerintah Pusat setelah menerima perintah untuk mengambil alih komando Bukit Barisan.
Pemerintah Pusat secara resmi mengangkat Jamin Ginting sebagai Panglima TT01BB menggantikan Mauludin Simbolon, ia menjadi panglima mulai dari tanggal 27 Desember 1956 sampai 4 Januari 1961.
Jamin Ginting yang memihak Pemerintah Pusat berhasil menghancurkan pergerakan PRRI di Sumatera Utara. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi Panglima TT01BB menggantikan Moludin Simbolon yang menjabat panglima sebelumnya.
Pada tanggal 28 Juni 1962, Jamin Ginting diangkat menjadi Asisten II (bidang operasi dan latihan) Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), dan pindah dari Medan ke Jakarta. Ia ditugaskan untuk menyiapkan pasukan Angkatan Darat dalam operasi perebutan Irian Barat.
Menpangad Ahmad Yani mengangkat Jamin Ginting sebagai pimpinan Sekretaris Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) dan Deputi Sekretaris Jenderal Front Nasional.
Orde Baru
Di masa Orde Baru ini karir militer Jamin Ginting mulai meredup, hal ini dikarenakan ia kurang disukai oleh Soeharto karena kedekatannya dengan Soekarno dan kurang tegas dalam menolak Nasakom.
Jamin Ginting pada masa ini banyak bergerak dibidang politik Golkar dan menjadi anggota DPR.
Akhir Hayat
Pada tahun 1972, Pemerintah menugaskan Jamin Ginting ke Kanada untuk menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh Indonesia dengan pangkat Letnan Jenderal.
Jamin Ginting tidak suka dengan perintah itu dan menginginkan untuk kembali bertugas di Indonesia, akan tetapi ia tetap melaksanakan tugasnya itu.
Pada pukul 15.30 tanggal 23 Oktober 1974, Jamin Ginting menghembuskan nafas terakhirnya pada usianya yang ke 53 tahun, karena penyakit darah tinggi yang dideritanya.
Jenazah Jamin Ginting di berangkatkan dari Ottawa, Kanada ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Untuk menghargai jasa-jasanya, Pada tanggal 6 November 2014, Presiden Joko Widodo berdasarkan Keppres No. 115/TK/Tahun 2014 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Jamin Ginting.
Namanya juga digunakan sebagai nama jalan terpanjang di Indonesia yaitu jalan Jamin Ginting yang bermula di Kota Medan dan ujungnya berada di Kabupaten Karo. Di titik nol jalan itu juga dibangun patung Jamin Ginting.
Sumber:
- “Djamin Ginting, Letjen TNI” ikpni.or.id (diakses 10 Maret 2025)
- “Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo” historia.id (diakses pada 10 Maret 2025)
- “Djamin Ginting: Pahlawan Dibalik Nama Jalan Terpanjang di Indonesia” suarausu.or.id (diakses pada 10 Maret 2025)
- “Sosok Letjen Djamin Ginting, Pahlawan Nasional Penuh Jasa Asal Tanah Karo” merdeka.com (diakses 10 Maret 2025)
- “Biografi Jamin Gintings, Sosok Pahlawan Nasional dari Tanah Karo” medan.kompas.com (diakses 10 Maret 2025)
- “Profil Jamin Ginting, Sosok di Balik Nama Jalan Terpanjang di Indonesia” detik.com (diakses 10 Maret 2025)