Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Iwa Kusumasumantri: Pejuang Kemerdekaan dan Rektor UNPAD

Iwa Kusumasumantri, seorang politikus Indonesia, menyelesaikan pendidikan hukumnya di Hindia Belanda (kini Indonesia) dan Belanda sebelum menghabiskan waktu di sebuah sekolah di Uni Soviet. 

Setelah kembali ke Indonesia, Iwa memperlihatkan bakatnya sebagai seorang pengacara, nasionalis, dan kemudian menjadi tokoh hak-hak pekerja. Selama dua dekade pertama setelah kemerdekaan Indonesia, Iwa menduduki beberapa posisi kabinet.

Setelah memasuki masa pensiun, Iwa terus mengabdikan diri dengan mengekspresikan ide-idenya melalui tulisan. Pada tahun 2002, pengabdiannya kepada Indonesia diakui ketika Iwa dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Iwa Kusuma Sumantri, yang lahir pada hari Rabu, 30 Mei 1899 di Ciamis, merupakan putra sulung dari Keluarga Raden Wiramantri. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, Iwa menunjukkan sifat ramah dan adaptabilitas dalam pergaulannya, tanpa membeda-bedakan antara kalangan atas dan bawah.

Pada tahun 1910, Iwa Kusuma Sumantri mulai bersekolah di Erste Klasse School di Ciamis, yang khusus diperuntukkan bagi kaum pribumi bangsawan. Selain itu, ia juga mengambil pelajaran bahasa Belanda secara privat bersama Ny Stanler. 

Setelahnya, Iwa melanjutkan pendidikannya di HIS (Hollandsch Inlandsche School), sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda yang ditujukan hanya untuk kalangan bangsawan pribumi.

Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar, Iwa melanjutkan pendidikannya di Sekolah Calon Amtenar, yaitu OSVIA (Opledingschool Voor Inlandsche Amtenaren), pada tahun 1915 di Bandung. Meskipun tidak betah di sana karena lingkungan yang tidak sehat, Iwa mencoba bertahan selama satu tahun agar tidak mengecewakan orang tuanya.

Setelah keluar dari OSVIA pada tahun 1916, Iwa masuk ke Sekolah Hukum di Batavia sesuai dengan bakat dan minatnya. Selama masa sekolah, ia aktif dalam organisasi pemuda “Tri Koro Darmo,” yang kemudian menjadi Jong Java. 

Melalui organisasi ini, Iwa mendapatkan pengalaman politik dan tumbuh rasa kebangsaan serta kasih sayang terhadap rakyat kecil. Pada tahun 1921, Iwa menyelesaikan pendidikan hukumnya dan bekerja di Kantor Pengadilan Negeri Bandung sebelum dipindahkan ke Surabaya dan Jakarta.

Selama bekerja di Jakarta, Iwa menangani kasus-kasus besar dan menyaksikan ketidakadilan, seperti kasus Haji Hasan yang dibuang dan dipenjarakan karena menolak menjual padinya kepada pemerintah kolonial Belanda. Terinspirasi oleh keinginan untuk melawan ketidakadilan, Iwa berhenti dari pekerjaannya dan bermaksud melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Meskipun tidak mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial Belanda, Iwa memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dengan biaya sendiri. Dengan bantuan uang dari orang tua dan pamannya di Medan, Dr. Abdul Manap, Iwa berangkat ke Belanda pada tahun 1922 untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Dalam waktu tiga tahun, Iwa berhasil menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar Meester in de Rechten (Mr) pada tahun 1925.

Selama di Belanda, Iwa aktif dalam organisasi Indische Vereeniging yang kemudian berganti nama menjadi PI (Perhimpunan Indonesia). Organisasi ini memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan dan menggulingkan kekuasaan kolonial. 

Iwa juga terlibat dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang diinisiasi oleh PI. Selama di Belanda, Iwa juga ditugaskan oleh PI untuk pergi ke Moskow, Rusia, guna mempelajari Program Front Persatuan. Di sana, Iwa menikah dengan seorang gadis Rusia dan memiliki seorang putri.

Kembali Ke Tanah Air

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda dan mendengar adanya pemberontakan di tanah air, Iwa memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Di Indonesia, ia bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan bekerja di Kantor Pengadilan di Jakarta.

Dari Jakarta, Iwa kemudian memilih untuk merantau ke Medan dan mendirikan kantor hukum pribadinya. Di sana, Iwa menikah dengan Kuraesin Argawinata dan dikaruniai enam orang anak. Selain berprofesi sebagai pengacara, Iwa juga menjadi pemimpin redaksi surat kabar Matahari Indonesia, yang secara konsisten mengkritik pemerintah Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya.

Di Medan, Iwa terlibat sebagai penasihat di Persatuan Motoris Indonesia, Perkumpulan Sekerja (ORBLOM), dan menjabat sebagai penasihat di organisasi INPO, sebuah kelompok kepanduan. Iwa juga turut berperan membantu masyarakat Kristen Batak untuk memperjuangkan hak mereka agar dapat menjadi pendeta Kristen, mengatasi monopoli sebelumnya yang dipegang oleh orang Eropa.

Pengasingan

Pandangan politik Iwa Kusumasumantri, yang cenderung progresif dan revolusioner, dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Pada bulan Juli 1929, Iwa ditangkap dan dipenjarakan di Medan selama satu tahun sebelum dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Batavia (Jakarta). Setelah itu, bersama keluarganya, Iwa diasingkan ke Banda Neira, Maluku.

Selama masa pengasingan, Iwa bertemu dengan Dr. Cipto Mangunkusumo yang telah lebih dulu diasingkan, diikuti oleh tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir. Pada tahun 1941, dengan status sebagai tahanan politik, Iwa dipindahkan ke Makassar.

Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tanggal 8 Februari 1943, Iwa kembali ke Jawa, kembali ke kampung halamannya di Ciamis, lalu menuju Bandung. Setelah itu, Iwa memulai karir sebagai advokat bersama A. A. Maramis di Jakarta, sambil membantu Kantor Riset Kaigun Cabang Jakarta yang dikelola oleh Achmad Soebardjo, temannya semasa studi di Belanda.

Sebelum Kemerdekaan

Iwa diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Latuharhary dan Soepomo. Dalam sidang PPKI, Iwa menjadi salah satu individu yang berpendapat bahwa rancangan UUD 1945 merupakan konstitusi yang lahir dalam keadaan darurat dan mungkin perlu diperbaiki. 

Oleh karena itu, Iwa mengusulkan penambahan satu pasal yang akan mengatur proses perubahan UUD 1945. Usulan Iwa ini kemudian mendapat tanggapan positif dari Soepomo. Setelah melalui tahap pembahasan dan perdebatan, akhirnya terbentuklah Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tata cara perubahan konstitusi.

Kehidupan Setelah Kemerdekaan

Perjalanan aktifitas Iwa semakin dinamis pada masa kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Iwa Kusumasumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan dalam Kabinet RI pertama yang dipimpin oleh Soekarno. Meskipun terlibat aktif dalam kegiatan politik, Iwa juga turut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bersama-sama dengan para pemuda.

Namun, dalam masa perjuangan tersebut, Iwa Kusumasumantri mendapat fitnah terkait “Peristiwa 3 Juli 1946”. Ia dituduh terlibat dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah bersama dengan Tan Malaka dan rekan-rekan revolusioner lainnya.

Pemerintahan Sutan Sjahrir menangkap Iwa, yang kemudian dipenjarakan selama satu setengah tahun di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Magelang. Pada tanggal 3 Juli 1947, jatuhnya Kabinet Sjahrir digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifudin I, dan Iwa Koesoemasoemantri dibebaskan dari penjara. Meskipun begitu, Iwa dan teman-temannya mendapatkan grasi dari Soekarno, walaupun mereka tidak mengajukannya.

Ketika Belanda melancarkan agresi militer pada 19 Desember 1948 dan menduduki kota Yogyakarta, Iwa Kusumasumantri turut ditangkap bersama-sama dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan pemimpin Indonesia lainnya. Setelah ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen, pemimpin Indonesia yang ditahan oleh Belanda dibebaskan, termasuk Iwa Kusumasumantri.

Iwa kemudian diangkat menjadi Menteri Pertahanan pada masa pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Meskipun kursi jabatan ini sebelumnya ditawarkan kepada beberapa orang yang menolak karena alasan keberanian dan ketidakstabilan Angkatan Darat, Iwa menerima tawaran tersebut.

Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Iwa Kusumasumantri menghadapi tuduhan paham komunis karena keputusannya untuk menghapus salah satu jabatan di TNI AD. Masyarakat saat itu sangat sensitif terhadap isu komunis, terutama setelah peristiwa Madiun

Namun, Presiden Soekarno membela Iwa dengan mengadakan rapat di Istana Negara dan memastikan bahwa Iwa adalah seorang pejuang nasionalis revolusioner, bukan komunis.

Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya pada tahun 1955, Iwa Kusumasumantri mengakhiri keterlibatannya dalam bidang pemerintahan dan politik. Ia kembali ke daerah asalnya dan aktif di Badan Musyawarah Sunda.

Rektor

Pada tahun 1958, Iwa Kusumasumantri diangkat sebagai Rektor Pertama Universitas Padjadjaran di Bandung. Dengan gaya revolusionernya, selama masa kepemimpinan sebagai rektor (1958-1961), banyak perubahan diterapkan. 

Beberapa di antaranya mencakup penggantian sistem perpeloncoan dengan masa perkenalan yang lebih sesuai dengan semangat kemerdekaan, serta usulannya untuk merancang Undang-Undang Perguruan Tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan.

Peran Iwa dalam mendirikan Unpad dapat ditelusuri melalui Badan Musyawarah Sunda yang dipimpinnya. Pada tahun 1956, Badan Musyawarah Sunda menekankan pentingnya pembangunan sebuah universitas di wilayah Jawa Barat, suatu keinginan yang diungkapkan dalam Kongres Pemuda Sunda.

Pemilihan nama ‘Padjadjaran’ untuk universitas ini terinspirasi dari sejarah Kerajaan Sunda, yakni Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja di Pakuan Padjadjaran dari tahun 1473 hingga 1513M.

Wafat

Setelah mengakhiri karir politiknya dan memasuki masa pensiun, Iwa Kusumasumantri mengabdikan waktunya untuk menulis dengan panjang lebar, seringkali mengeksplorasi tema sejarah. 

Beberapa karyanya yang terbit pada periode ini meliputi “Revolusi Hukum di Indonesia,” “Sejarah Revolusi Indonesia” dalam tiga jilid, dan “Pokok-Pokok Ilmu Politik” (Muamalah Politik). Pada tanggal 27 November 1971, Iwa meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.

Pada tanggal 6 November 2002, Iwa diumumkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, menyatakan bahwa ini merupakan suatu proses yang melibatkan afiliasi Iwa dengan Tan Malaka dan keterlibatannya dalam kepentingan komunis lainnya, yang sebelumnya tidak didukung oleh pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Presiden Soeharto.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top