Kabinet Djuanda, sebagai kabinet ketujuh era demokrasi liberal, dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja dari September 1957 hingga Juli 1959. Dalam sejarah, kepemimpinan Djuanda bertahan paling lama selama 14 bulan, membuatnya mencatat prestasi tersebut dibandingkan kabinet lain.
Era demokrasi liberal Indonesia hanya berlangsung singkat, yakni 1950 hingga 1959, dan Kabinet Djuanda menandai penutupannya sebelum beralih ke sistem pemerintahan demokrasi terpimpin pada Juli 1959.
Kabinet Djuanda, dikenal sebagai kabinet zaken, diisi oleh para ahli atau kalangan non-partai, termasuk dalam tiga kabinet zaken selama masa demokrasi liberal.
Djuanda diakui oleh Daniel S. Lev sebagai sosok administrator ideal yang tidak terikat pada partai politik dan mampu menjalankan program kerja kabinetnya dengan dukungan parlemen, menunjukkan keahlian diplomasi dan ketidakberpihakan pada kepentingan partai politik dan kelompok militer.
Table of Contents
ToggleSusunan Kabinet Djuanda / Kabinet Karya
Jabatan | Foto | Pejabat | Waktu Menjabat | Partai |
---|---|---|---|---|
Presiden | Ir. Soekarno | 18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 | ||
Perdana Menteri | Djuanda Kartawidjaja | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Wakil Perdana Menteri I | Hardi | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Wakil Perdana Menteri II | Idham Chalid | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Wakil Perdana Menteri III | Johannes Leimena | 29 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Luar Negeri | Subandrio | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Dalam Negeri | Sanusi Hardjadinata | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Pertahanan | Djuanda Kartawidjaja | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Kehakiman | Gustaaf Adolf Maengkom | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Penerangan | Soedibjo | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Keuangan | Sutikno Slamet | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Pertanian | Sadjarwo Djarwonagoro | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | Barisan Tani Indonesia (BTI) | |
Menteri Perdagangan | Soenardjo | 9 April 1957 – 25 Juni 1958 | ||
Rachmat Muljomiseno | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 | |||
Menteri Perindustrian | F.J. Inkiriwang | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Perhubungan | Soekardan | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Pelayaran | Mohammad Nazir | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga | Pangeran Mohammad Nur | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Perburuhan | Samjono | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Sosial | Johannes Leimena | 9 April 1957 – 24 Mei 1957 | ||
Muljadi Djojomartono | 25 Mei 1957 – 6 Juli 1959 | |||
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan | Prijono | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Agama | Muhammad Ilyas | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Kesehatan | Azis Saleh | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Agraria | R. Sunarjo | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pembangunan | A.M. Hanafi | 9 April 1957 – 25 Juni 1958 | ||
Menteri Negara Urusan Veteran | Chaerul Saleh | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Hubungan Antar Daerah | Ferdinand Lumban Tobing | 9 April 1957 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Stabilitasi Ekonomi | Dadang Suprajogi | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil-Militer | Muhammad Wahib Wahab | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Transmigrasi | Ferdinand Lumban Tobing | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Stabilitasi Ekonomi | A.M. Hanafi | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 | ||
Menteri Negara Urusan Stabilitasi Ekonomi | Mohammad Yamin | 25 Juni 1958 – 6 Juli 1959 |
Pencapaian Kabinet Djuanda / Kabinet Karya
Kabinet Djuanda beroperasi dalam fase transisi dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Tugasnya yang sangat berat melibatkan penanggulangan kerusuhan di berbagai daerah, upaya memulihkan Irian Barat, dan penanganan masalah ekonomi yang memprihatinkan. Untuk mengatasi tantangan ini, Kabinet Karya merancang program bernama Pancakarya, yang mencakup:
- Pembentukan Dewan Nasional.
- Normalisasi situasi republik.
- Pencabutan persetujuan KMB.
- Perjuangan untuk Irian Barat.
- Pempercepat proses pembangunan.
Dewan Nasional dibentuk sebagai lembaga baru yang bertujuan menghimpun dan menyampaikan aspirasi kekuatan nonpartai dalam masyarakat. Meski dewan ini sudah terbentuk, negara semakin menghadapi kesulitan. Pergolakan di berbagai daerah terus mengganggu hubungan antara pusat dan daerah, memperparah kondisi perekonomian nasional.
Untuk mengatasi kerusuhan di daerah, pemerintah mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) pada 10-14 September 1957. Munas membahas pembangunan nasional dan daerah, angkatan perang, serta pembagian wilayah Republik Indonesia. Ketegangan antara pusat dan daerah, serta antarkelompok masyarakat, berhasil diatasi dengan baik. Sebagai tindak lanjut Munas, Munap diselenggarakan pada Desember 1957.
Munap merumuskan rencana pembangunan sesuai harapan daerah. Namun, upaya pemerintah untuk menangani masalah pembangunan terhambat oleh peristiwa nasional, seperti Peristiwa Cikini, yakni upaya pembunuhan Presiden Soekarno pada 30 November 1957.
Kabinet Karya mencatat prestasi mengatur ulang batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi ini mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam aturan sebelumnya, laut teritorial mencakup 6 mil dari garis dasar saat air surut. Penerapan aturan tersebut akan menciptakan wilayah laut bebas, seperti Laut Jawa dan Laut Flores. Melalui Deklarasi Djuanda, terbentuk Kesatuan Wilayah Indonesia, di mana lautan dan daratan dianggap sebagai satu kesatuan.
Akhir Kabinet Djuanda / Kabinet Karya
Terwujudnya Demokrasi Terpimpin terjadi saat dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Ini terjadi karena Konstituante terlalu lama untuk menyusun Undang-undang Dasar, yang diharapkan tetapi mereka tidak dapat lagi bersidang. Sebagai hasilnya, muncul keinginan untuk kembali ke UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dan membubarkan Konstituante.
Pada saat yang sama, Kabinet Kerja diumumkan, dengan Presiden Soekarno menjadi Perdana Menteri dan Djuanda sebagai Menteri Utama. Demokrasi Terpimpin secara jelas mengatur peran partai politik, dengan melarang pejabat tinggi negara menjadi anggota partai politik. Hanya PKI yang tetap memiliki kekuatan untuk mendekati Soekarno. Dengan kekuasaan besar yang dimiliki Soekarno sebagai Presiden, demokrasi terpimpin menggantikan demokrasi parlementer.