Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Jenderal Besar Soedirman: Panglima Besar Pertama Indonesia

Jenderal Soedirman, yang dihormati oleh pasukannya dalam sejarah Indonesia sebagai pahlawan revolusi Nasional, memiliki peran sentral dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia, yang menjadi panglima pertama sekaligus Jenderal RI termuda pada usia 31 tahun, diakui karena keberaniannya. 

Namun, di balik keberanian itu, tersimpanlah kepribadian yang tenang dalam menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang solutif, ketekunan, dan keteguhan dalam memegang prinsip.

Karena sifatnya itulah, ia dianggap sebagai pejuang yang kukuh dan tanpa lelah. Banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari perjalanan hidup Jenderal Soedirman.

Masa Kecil dan Pendidikan

Ada beberapa versi mengenai masa kecil Jendral Sudirman yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Ini terjadi karena sebagian besar informasi tentang dirinya dihapus untuk menjaga keamanan sebelum terlibat dalam perang gerilya. Salah satu dari versi-versi ini dapat ditemukan dalam artikel ini.

Jendral Sudirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 dengan nama Soedirman dari pasangan Karsid Kartawiradji dan Siyem. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, ia memiliki seorang adik laki-laki bernama Mohammad Samingan. Latar belakang keluarganya sederhana; ayahnya bekerja sebagai mandor pabrik gula di Purwokerto dan ibunya sebagai petani.

Dikarenakan kondisi keluarganya, ia dan adiknya diadopsi oleh pamannya, Raden Tjokorsoenaryo, yang bekerja sebagai asisten wedana di Rembang. Setelah diadopsi, Soedirman diberi gelar raden.

Ketika jabatan pamannya berakhir, Soedirman pindah bersama pamannya ke Cilacap, tempat di mana ia tumbuh besar. Di bawah asuhan pamannya, ia tidak hanya mendapat pendidikan formal dan nilai-nilai etika, tetapi juga pendidikan agama, yang membuatnya diakui sebagai seorang yang alim.

Saat berusia tujuh tahun, pamannya mendaftarkan Soedirman ke Hollandsch Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah pribumi. Status pamannya yang pernah menjadi camat memudahkan masuknya ke sekolah tersebut. Namun, setelah lima tahun, ia terpaksa berhenti dari HIS.

Meskipun pamannya tidak setuju, Soedirman kemudian dipindahkan ke Taman Siswa, sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Namun, setahun kemudian, karena penutupan Taman Siswa, ia harus pindah ke Sekolah Menengah Pertama Parama Wirotomo.

Di Sekolah Wirotomo, Jendral Soedirman merupakan murid berprestasi. Ia tidak hanya pandai dalam ilmu eksakta, tetapi juga aktif dalam kegiatan musik dan sepak bola.

Sekolah ini juga memiliki peran penting bagi Jendral Sudirman karena sebagian besar gurunya terlibat dalam organisasi nasionalis Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono. Dari mereka, ia mendapatkan pemahaman yang dalam mengenai nasionalisme.

Menjadi Guru

Setelah menyelesaikan pendidikan di Wirotomo, Soedirman melanjutkan belajar selama satu tahun di Kweekschool, sebuah sekolah guru yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta. Namun, dia terpaksa berhenti karena masalah keuangan. 

Pada tahun 1936, kembali ke Cilacap untuk mengajar di sekolah dasar Muhammadiyah setelah mendapatkan pelatihan dari para guru di Wirotomo. Pada saat yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik bernama Raden Sastroatmojo. 

Setelah menikah, mereka tinggal di rumah mertua di Cilacap untuk menabung demi membangun rumah sendiri. Pasangan ini dikaruniai tiga putra: Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat putri: Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.

Sebagai seorang guru, Soedirman mengajarkan moral kepada murid-muridnya dengan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah satu muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar, memadukan humor dan nasionalisme dalam pembelajarannya, yang membuatnya populer di antara murid-muridnya. 

Meskipun gajinya kecil, Soedirman tetap mengajar dengan tekun. Akibatnya, ia diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. Sebagai hasilnya, gaji bulanannya naik empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. 

Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengurus tugas administratif dan menengahi konflik antar guru. Seorang rekannya menggambarkan Soedirman sebagai pemimpin yang moderat dan demokratis. Dia juga aktif dalam penggalangan dana untuk pembangunan sekolah dan proyek-proyek lainnya.

Sementara itu, Soedirman tetap aktif sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah, dikenal sebagai negosiator yang jujur dan mediator dalam menyelesaikan masalah di antara anggota kelompok serta berdakwah di masjid setempat. 

Pada akhir 1937, ia terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas. Selama menjabat, ia memfasilitasi pendidikan bagi anggota kelompok, baik dalam hal keagamaan maupun hal-hal sekuler. 

Ia juga aktif dalam kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menggunakan waktu luangnya untuk melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan fokus pada kesadaran diri. Sementara itu, Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah.

Penjajahan Jepang

Ketika Perang Dunia II meletus di Eropa, terdapat estimasi bahwa Jepang, yang telah melakukan langkah menuju China daratan, berencana untuk menyerang Hindia. 

Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial Belanda, yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi penduduk lokal, mulai menginstruksikan rakyat tentang tindakan pengamanan terhadap serangan udara. Selanjutnya, Belanda membentuk tim Persiapan Serangan Udara. 

Soedirman, yang sangat dihormati di komunitasnya, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain memberikan pelatihan kepada penduduk sekitar tentang prosedur keselamatan terhadap serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh wilayah. 

Bersama Belanda, mereka menyimulasikan pengeboman dengan menggunakan pesawat udara yang menjatuhkan material, bertujuan untuk meningkatkan respons masyarakat.

Ketika Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan KNIL yang dilatih oleh Belanda, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah pada 9 Maret 1942. 

Kejadian ini mengubah pemerintahan Nusantara secara signifikan dan memperburuk kondisi hidup penduduk non-Jepang di Hindia, terutama masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia oleh Jepang. Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan diubah menjadi pos militer sebagai bagian dari upaya untuk menutup sekolah swasta. 

Setelah berhasil membujuk Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan rekan-rekannya guru terpaksa menggunakan peralatan standar. Di periode ini, Soedirman terlibat dalam organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk menjadi ketua Koperasi Bangsa Indonesia, yang semakin meningkatkan penghormatan masyarakat di Cilacap terhadapnya.

Setelah menjabat sebagai perwakilan di dewan karesidenan Jepang (Syu Sangikai) selama satu tahun pada awal 1944, Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA didirikan oleh Jepang sendiri pada Oktober 1943 untuk membantu menghadapi invasi Sekutu dan merekrut pemuda yang belum “terkontaminasi” oleh pemerintah Belanda. 

Meskipun ragu, terutama karena cederanya pada lutut saat masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk ikut pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan statusnya di masyarakat, Soedirman diangkat sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama dengan lainnya yang memiliki pangkat yang sama. 

Di Bogor, ia mendapatkan pelatihan dari perwira dan tentara Jepang dengan menggunakan peralatan yang diambil dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tak jauh dari Cilacap.

Jabatannya sebagai komandan PETA berlangsung tanpa insiden signifikan hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah Kusaeri melakukan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini disetujui oleh komandan Jepang. 

Soedirman dan pasukannya mulai mencari pemberontak, meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang. Melalui pengeras suara, Soedirman mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan akhirnya para pemberontak menyerah pada tanggal 25 April. 

Kejadian ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang mengkhawatirkan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia. 

Soedirman dan pasukannya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan pelatihan, tetapi sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dengan rumor bahwa perwira PETA akan dibunuh.

Menjadi Panglima

Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, kontrol Jepang mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor, di mana ia menentang serangan terhadap tentara Jepang. 

Setelah memerintahkan rekan-rekannya untuk kembali ke kampung halaman mereka, Soedirman menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno. ia diminta untuk memimpin perlawanan di kota, namun Soedirman menolak dan malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. 

Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) adalah tiga badan yang diputuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945 untuk membantu menggerakkan potensi perjuangan rakyat. 

BKR, yang awalnya Bagian Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), bertanggung jawab atas kesejahteraan mantan anggota tentara PETA dan Heihō. Pembentukan BKR merupakan perubahan dari keputusan PPKI pada 19 Agustus 1945 untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Soekarno pada 23 Agustus 1945. BKR bertugas sebagai kepolisian, mendukung diplomasi dan mencegah munculnya tentara Jepang yang masih ada di Nusantara.

Soedirman dan rekan-rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus. Mereka memaksa tentara Jepang menyerahkan diri dan menyerahkan senjata mereka kepada BKR, yang kemudian digunakan untuk memperkuat unit Soedirman. 

Sebagai negara yang baru merdeka, pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soeprijadi awalnya diangkat sebagai Panglima Besar, tetapi setelah tidak muncul, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. 

Pada pertengahan Oktober, pasukan Inggris tiba di Jawa, dan pada 20 Oktober, Soedirman memimpin pasukannya untuk mengusir mereka dari Magelang.

Pada 12 November 1945, dalam pertemuan TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah pemungutan suara dua tahap. Ia dikukuhkan kembali pada 25 Mei setelah reorganisasi militer. Ia bersumpah melindungi republik “sampai titik darah penghabisan.” 

Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi ketidakpercayaan antara mantan tentara KNIL dan PETA. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang dua kali pada Januari 1946, yang pertama menjadi Tentara Keselamatan Rakjat, dan kemudian menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). 

Meskipun serangan tersebut gagal, Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa pada akhir November. Pertempuran ini membuat Soedirman menjadi lebih dikenal di seluruh negeri.

Soedirman terpilih sebagai panglima besar TKR pada 12 Desember 1945 dan mulai fokus pada masalah strategis, sementara Oerip menangani masalah militer. 

Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi perbedaan dan ketidakpercayaan, memimpin TRI melalui beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda-Inggris, termasuk Pertempuran Ambarawa yang berhasil pada Desember 1945. Soedirman dikukuhkan kembali pada 25 Mei 1946 setelah reorganisasi militer. 

Ia menyatakan bahwa militer tidak boleh terlibat dalam politik, sambil menghadapi upaya kudeta pada Juli 1946 yang ia tolak.

Berunding Dengan Belanda

Pada bulan Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, mengadakan perundingan untuk gencatan senjata yang dipimpin oleh diplomat Inggris, Lord Killearn, dengan kehadiran Soedirman. 

Namun, usaha Soedirman untuk masuk ke Jakarta bersenjata dibatalkan oleh Belanda, yang kemudian meminta maaf atas kesalahpahaman ini. Setelah kejadian ini, Soedirman tiba di Jakarta pada November dan berkontribusi pada perumusan Perjanjian Linggarjati pada 15 November, meskipun ia menentangnya karena potensi kerugian bagi Indonesia.

Setelah Perjanjian Linggarjati pada 1947, situasi menjadi relatif damai, memungkinkan Soedirman untuk mengonsolidasikan Tentara Republik Indonesia (TKR) dan laskar-laskar yang ada. 

Pada bulan Juni, TNI resmi dibentuk dari TKR dan sejumlah laskar lainnya. Meski demikian, gencatan senjata yang berlangsung tidak berlangsung lama. Pada Juli 1947, tentara Belanda melancarkan Agresi Militer, menduduki sebagian besar Jawa dan Sumatra. Soedirman mengajak para tentara untuk melawan, tetapi upayanya ini tidak berhasil menggalang perlawanan.

Belanda membuat Garis Van Mook yang mana garis itu membagi wilayah wilayah yang dikuasai Belanda dan Indonesia  pada Agustus 1947. Soedirman memerintahkan gerilyawan Indonesia yang berada di wilayah yang diduduki Belanda untuk kembali ke wilayah Indonesia. Lebih dari 35.000 tentara kembali ke Yogyakarta, dan perbatasan diresmikan melalui Perjanjian Renville pada Januari 1948.

Pada awal 1948, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan untuk mengubah struktur pimpinan TNI, yang menimbulkan reaksi dari angkatan perang. Setelah beberapa perubahan dan konflik politik, pada akhir tahun 1948, struktur organisasi TNI selesai ditata. 

Namun, kondisi politik yang tidak stabil, seperti pemberontakan di Madiun, menimbulkan tekanan pada kesehatan Soedirman. Pada Oktober 1948, Soedirman didiagnosis menderita tuberkulosis. Meskipun tetap aktif dalam memberikan perintah, kesehatannya semakin memburuk.

Belanda kemudian melancarkan Agresi Militer Kedua pada Desember 1948, merebut sebagian wilayah. Soedirman, meski sakit, berusaha memimpin perlawanan, namun usahanya untuk mendorong perlawanan tidak berhasil. Dia tetap berkomunikasi dengan Nasution untuk perencanaan perang gerilya, tetapi kondisinya semakin memburuk. 

Pada akhir November 1948, setelah sejumlah tindakan medis, Soedirman kembali aktif sebelum Belanda melancarkan serangan terhadap Yogyakarta pada Desember 1948. Meski berusaha mendorong perlawanan, upaya tersebut gagal, dan pemerintahan pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Masa Perang Gerilya

Sebelum memulai gerilya, Soedirman pergi ke rumah dinasnya dan membakar dokumen-dokumen pentingnya untuk mencegah jatuh ke tangan Belanda. Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, Soedirman bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. 

Setibanya di sana, mereka diterima oleh bupati pada pukul 18.00. Soedirman mengirim tentaranya yang menyamar ke kota yang diduduki Belanda untuk melakukan pengintaian, sambil meminta bantuan finansial dari istrinya dengan menjual perhiasan. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya pergi ke timur sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.

Sebelum serangan Belanda, Soedirman direncanakan untuk mengontrol gerilyawan dari Jawa Timur yang masih memiliki pangkalan militer. Sementara itu, keluarganya diperintahkan untuk tinggal di Kraton. 

Pada 23 Desember, Soedirman memerintahkan pasukannya untuk pergi ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz, yang memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan. Setelah itu, mereka pergi ke timur.

Di dekat Trenggalek, Soedirman dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102. Salah paham terjadi karena tentara tersebut tidak mengenal Soedirman yang saat itu berpakaian sipil. Setelah situasinya terkendali, mereka melanjutkan perjalanan. Pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana menyerang Kediri.

Serangan Belanda membuat Soedirman harus mengganti pakaian dan memberikan pakaian lamanya pada seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan dengan sejumlah pasukan, sementara Soedirman tetap di Karangnongko. 

Pada 27 Desember, Soedirman dan kelompoknya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang saat penyerangan tidak berada di Yogyakarta.

Soedirman dan pasukannya melanjutkan perjalanan hingga tiba di Sobo, dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Di sana, Soedirman menggunakan radio untuk memberi perintah pada pasukan setempat jika merasa aman. 

Dalam situasi fisik yang semakin melemahkan, Soedirman yakin Sobo bisa menjadi markas gerilya. Ia dan komandan tentara setempat membahas kemungkinan serangan besar-besaran.

Soedirman memerintahkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam jam, mengukuhkan kekuatan mereka di mata internasional. Pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. 

Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada Juli setelah sejumlah persiapan dan perdebatan yang panjang. Di sana, ia disambut hangat oleh masyarakat dan elit politik setempat.

Wafat

Soedirman mendekati Soekarno pada awal Agustus, meminta agar perang gerilya diteruskan karena kurang percaya pada kesetiaan Belanda terhadap perjanjian sebelumnya. Namun, Soekarno menolak, menyebabkan kekecewaan Soedirman. 

Meski merasa penyakitnya disebabkan oleh ketidak-konsistenan pemerintah, Soedirman mengancam mundur dari jabatannya, namun tetap bertahan untuk menghindari ketidakstabilan. Gencatan senjata mulai diberlakukan pada 11 Agustus 1949 di seluruh Jawa.

Soedirman terus melawan TBC dengan perawatan di Panti Rapih dan kemudian dipindahkan ke sebuah sanatorium. Karena kondisinya yang memburuk, ia jarang muncul di depan publik. 

Pada Desember 1949, saat Indonesia dan Belanda sepakat mengakui kedaulatan Indonesia, Soedirman diangkat sebagai panglima besar TNI. 

Namun, pada 29 Januari 1950, Soedirman meninggal di Magelang. Kabar duka ini disiarkan melalui siaran khusus di RRI dan disambut dengan kedatangan pelayat yang memadati rumah keluarganya.

Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Yogyakarta dalam sebuah konvoi besar yang dipimpin oleh anggota Brigade IX. Di Yogyakarta, upacara pemakaman dihadiri oleh berbagai elit militer dan politik Indonesia dan asing. Setelah dishalatkan di Masjid Gedhe Kauman, jenazahnya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dalam prosesi yang diiringi oleh ribuan pelayat. 

Ia dimakamkan di samping Oerip dengan prosesi hormat senjata dan pengibaran bendera setengah tiang di seluruh negeri sebagai tanda berkabung. Soedirman juga dipromosikan menjadi jenderal penuh pasca kematiannya. Pemimpin angkatan perang baru, Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang, dipilih setelah kepergiannya. Memoar dan pidato-pidato Soedirman diterbitkan pada tahun yang sama dan beberapa tahun setelahnya.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top