Tan Malaka, biografi pahlawan Indonesia yang menginspirasi perjuangan kemerdekaan, juga terkenal sebagai tokoh kiri yang dihormati oleh banyak pemimpin seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Meskipun jasanya besar sebagai pencetus gagasan Republik Indonesia, hidupnya berakhir tragis karena dianggap pemberontak oleh pemerintah tanpa peradilan.
Kehidupan Tan Malaka penuh dengan keberanian dan semangat sosial, menjadikannya tidak hanya pejuang, tetapi juga pemikir ulung serta patriot sejati. Warisan pemikirannya tetap abadi dan tak tergantikan, mengukir namanya sebagai filsuf Indonesia. Namun, meskipun kontribusinya yang berharga, sejarah singkatnya sering terlupakan dalam lembaran sejarah bangsa.
Table of Contents
ToggleMasa Muda
Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka adalah nama lengkap Tan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim, tetapi lebih dikenal sebagai Tan Malaka, sebuah nama yang merujuk pada latar belakang bangsawannya. Ia lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat, saat Hindia Belanda berkuasa, pada sekitar tahun 1894 hingga 1897.
Ayahnya, HM. Rasad Caniago, adalah seorang buruh tani, sedangkan ibunya, Rangkayo Sinah Simabur, berasal dari keluarga terpandang. Saat masih anak-anak, Tan Malaka tinggal di Suliki, di mana ia belajar agama dan juga seni bela diri pencak silat. Pada tahun 1908, ia bersekolah di Kweekschool, sebuah sekolah guru negeri di Fort de Kock.
Di Kweekschool, Tan Malaka mempelajari bahasa Belanda dan juga menjadi pemain sepak bola yang terampil. Meskipun kadang-kadang tidak patuh, ia dianggap sebagai murid yang baik oleh gurunya, G. H. Horensma. Pada tahun 1913, ia lulus dan kembali ke desanya. Meski ditawari gelar adat tinggi dan tawaran tunangan, ia hanya menerima gelar tersebut.
Ia mencoba menggalang dana di desanya untuk melanjutkan studi ke luar negeri dan akhirnya berangkat ke Rotterdam pada tahun yang sama.
Pendidikan Tan Malaka dan Faham Komunis
Setelah tiba di Belanda, Tan Malaka awalnya mengalami perubahan budaya yang cukup drastis. Di negara tersebut, ia merasa kewalahan dengan iklim Eropa Utara yang berbeda. Pada awal 1914, ia bahkan terkena radang selaput dada, dan pemulihannya baru terjadi pada 1915.
Selama masa di Eropa, minatnya tertarik pada sejarah revolusi dan teori perubahan masyarakat melalui revolusi semakin membesar. Inspirasi awal datang dari buku “De Fransche Revolutie” yang pertama kali diberikan oleh G. H. Horensma. Buku tersebut adalah terjemahan dari tulisan sejarawan Jerman, Wilhelm Blos, tentang revolusi Prancis dari 1789 hingga 1804.
Lebih lanjut, setelah Revolusi Rusia Oktober 1917, minatnya pada komunisme dan sosialisme semakin tumbuh. Ia mulai membaca karya-karya tokoh komunis seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Selain itu, karya-karya Friedrich Nietzsche juga mempengaruhi pemikirannya pada tahap awal.
Meski mengalami kecenderungan ini, Tan Malaka semakin menjauh dari budaya Belanda dan justru terpikat oleh budaya Jerman serta Amerika Serikat. Bahkan, ia mencoba untuk bergabung dengan Angkatan Darat Jerman, namun ditolak karena saat itu Jerman tidak menerima penerimaan tentara asing.
Di Belanda, ia bertemu dengan Henk Sneevliet, salah satu pendiri dari Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada saat yang sama, Tan Malaka juga tertarik dengan Sociaal-Democratische Onderwijzers Vereeniging (Persatuan Guru Sosial Demokrat). Pada November 1919, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan meraih diploma hulpacte.
Kembali ke Tanah Air
Setelah menyelesaikan studinya, Tan Malaka kembali ke desa dan mendapat tawaran pekerjaan dari Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak buruh tani perkebunan tembakau di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Timur. Meskipun ia tiba pada Desember 1919, ia mulai mengajar pada Januari 1920.
Di sana, ia menghasilkan propaganda yang memberdayakan para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor, dan memulai studi tentang penurunan kondisi masyarakat adat. Selain mengajar, ia menjalin hubungan dengan ISDV dan menulis untuk media. Sebagai jurnalis, ia menyoroti kesenjangan besar antara kapitalis dan pekerja dalam tulisannya yang terkenal, “Tanah Orang Miskin”.
Kemudian, Tan Malaka pindah ke Batavia (kini Jakarta) setelah ditawari pekerjaan sebagai guru oleh mantan guru, G. H. Horensma. Meskipun menolak tawaran ini karena ingin mendirikan sekolah sendiri, Horensma tetap mendukungnya.
Pada tahun 1921, Tan Malaka terpilih sebagai anggota sayap kiri Volksraad, namun ia segera mengundurkan diri. Ia kemudian pindah ke Yogyakarta pada awal 1921, tinggal di rumah Sutopo, seorang mantan pemimpin Budi Utomo. Di sana, ia mengembangkan proposal untuk sekolah tata bahasa.
Di Yogyakarta, ia mengikuti Muktamar ke-5 organisasi Sarekat Islam dan bertemu dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Darsono, dan Semaun. Kongres tersebut membahas masalah keanggotaan ganda antara Sarekat Islam dan Partai Komunis (PKI), dengan pandangan yang berbeda di antara para tokoh tersebut.
Terlibat Dengan PKI
Dampaknya, Sarekat Islam mengalami perpecahan menjadi Sarekat Islam Putih yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, dan Sarekat Islam Merah yang dikendalikan oleh Semaun dengan basis di Semarang. Setelah kongres tersebut, Semaun mengajak Tan Malaka untuk bergabung dengan PKI di Semarang.
Tan Malaka setuju dan menuju ke Semarang, namun ia jatuh sakit setibanya di sana. Setelah pulih dalam waktu sebulan, ia berpartisipasi dalam pertemuan dengan anggota Sarekat Islam Semarang. Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk mendirikan sekolah sebagai pesaing bagi sekolah pemerintah.
Inilah cikal bakal Sekolah Tan Malaka, yang kemudian tersebar ke Bandung dan Ternate dengan pendaftaran dimulai pada 21 Juni 1921. Sekolah ini menjadi penting dalam mendorong reputasi Tan Malaka dan pertumbuhan pesat PKI.
Saat itu, Tan Malaka juga menjadi ketua Serikat Pegawai Pertjitakan (Asosiasi Pekerja Percetakan) pada Juni 1921, serta menjabat sebagai wakil ketua dan bendahara Serikat Pegawai Pelikan Hindia (SPPH; Persatuan Pekerja Minyak Hindia).
Antara Mei dan Agustus, ia menerbitkan buku pertamanya berjudul “Sovjet atau Parlemen?” dalam jurnal PKI, Soeara Ra’jat (Suara Rakyat). Karya-karyanya yang lain, termasuk artikel, juga dimuat di jurnal dan surat kabar PKI lainnya seperti Sinar Hindia (Bintang Hindia).
Pada bulan Juni, ia menjadi salah satu pemimpin Revolusioner Vakcentrale (Serikat Buruh Revolusioner), dan pada bulan Agustus ia bergabung dengan dewan redaksi SPPH, Soeara Tambang (Suara Penambang).
Kemudian, pada Desember 1921, Tan Malaka mengambil alih kepemimpinan PKI dari Semaun setelah kongres di Semarang. Keduanya memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, dengan Semaun lebih hati-hati dan Tan Malaka lebih radikal. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjalin hubungan yang baik dengan Sarekat Islam.
Pengasingan
Diasingkan ke Eropa
Pada 13 Februari 1922, Tan Malaka mengunjungi sebuah sekolah di Bandung, namun ia ditangkap oleh pihak penguasa Belanda yang merasa terancam oleh kehadiran Partai Komunis. Setelah penangkapan itu, ia pertama kali diasingkan ke Kupang. Namun, ia berkeinginan untuk diasingkan ke Belanda, dan akhirnya diusir ke sana oleh pihak Belanda.
Tanggal pasti kedatangannya di Belanda masih menjadi perdebatan. Di Belanda, ia bergabung dengan Partai Komunis Belanda (CPN) dan dicalonkan sebagai kandidat ketiga partai tersebut untuk Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan 1922.
Meskipun ia tidak mengharapkan kemenangan karena posisinya yang relatif rendah dalam daftar calon, ia ingin memanfaatkan kehadirannya di Belanda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dan membujuk CPN agar mendukung tujuan tersebut. Meskipun tidak terpilih, ia mendapat dukungan yang tidak terduga. Sebelum penghitungan suara selesai, ia meninggalkan Belanda dan pergi ke Jerman.
Di Berlin, ia bertemu dengan Darsono, seorang komunis Indonesia yang memiliki hubungan dengan Biro Komintern Eropa Barat, dan mungkin juga bertemu dengan M.N. Roy. Dari sana, Tan Malaka pergi ke Moskow dan tiba pada Oktober 1922 untuk berpartisipasi dalam Komite Eksekutif Komintern. Di Kongres Komintern Dunia Keempat di Moskow, ia mengusulkan kerja sama antara komunisme dan Pan-Islamisme, namun usulannya ditolak oleh banyak orang.
Pada Januari 1923, Tan Malaka dan Semaun diangkat sebagai koresponden untuk Die Rote Gewerkschafts-Internationale (Serikat Merah Internasional). Selain itu, ia menulis untuk jurnal-jurnal gerakan buruh di Indonesia dan Belanda selama paruh pertama tahun 1923. Ia juga menjadi agen Biro Timur Komintern dan melaporkan pleno ECCI pada bulan Juni 1923.
Setelah itu, Tan Malaka pergi ke Canton (sekarang Guangzhou), tiba pada Desember 1923, dan mengedit jurnal bahasa Inggris, The Dawn, untuk sebuah organisasi pekerja transportasi Pasifik.
Pada Agustus 1924, ia memohon izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk pulang karena alasan kesehatan, namun meskipun permohonannya diterima, persyaratan yang sulit membuatnya akhirnya tidak dapat pulang.
Pada Desember 1924, PKI mengalami tekanan hebat dari pemerintah Belanda dan mulai runtuh. Sebagai respons, Tan Malaka menulis “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia), yang diterbitkan di Kanton pada April 1925.
Dalam tulisan ini, ia menggambarkan situasi dunia, krisis ekonomi di Belanda, peluang revolusi di Hindia Belanda melalui gerakan nasionalis dan PKI, serta prediksinya tentang peran Amerika Serikat dan Jepang dalam keseimbangan kekuatan di Pasifik.
Pelarian di Asia
Pada Juli 1925, Tan Malaka memutuskan untuk pindah ke Manila, Filipina, karena merasa lingkungan di sana lebih mirip dengan Indonesia. Dia tiba di Manila pada tanggal 20 Juli. Di kota itu, ia bergabung dengan surat kabar nasionalis El Debate yang disunting oleh Francisco Varona.
Karya-karyanya seperti edisi kedua “Naar de Republiek Indonesia” (Desember 1925) dan “Semangat Moeda” (1926) kemungkinan mendapat dukungan dari Varona. Di Filipina, Tan Malaka juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh seperti Mariano de los Santos, José Abad Santos, dan Crisanto Evangelista.
Sementara itu, di Indonesia, PKI merencanakan pemberontakan dalam enam bulan setelah pertemuan mereka pada sekitar Desember 1925. Namun, pemerintah Indonesia mengetahui rencana ini dan mengasingkan beberapa pemimpin partai. Pada Februari 1926, Alimin pergi ke Manila untuk meminta persetujuan dari Tan Malaka terkait rencana tersebut. Namun, Tan Malaka akhirnya menolak rencana tersebut, menganggap bahwa kondisi partai masih terlalu lemah dan tidak mampu untuk memulai revolusi lagi.
Dalam otobiografinya, Tan Malaka mengekspresikan frustrasi karena sulitnya mendapatkan informasi tentang perkembangan di Indonesia dari tempat tinggalnya di Filipina dan kurangnya pengaruhnya dalam kepemimpinan PKI. Sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara, ia berpendapat bahwa ia memiliki kewenangan untuk menolak rencana PKI, meskipun pandangan ini kemudian diperdebatkan oleh beberapa mantan anggota PKI.
Tan Malaka mengirim Alimin ke Singapura untuk menyampaikan pandangannya dan mengatur pertemuan antara para pemimpin. Ketika tidak ada kemajuan, Tan Malaka sendiri pergi ke Singapura, hanya untuk mengetahui bahwa Alimin dan Musso sudah pergi ke Moskow mencari dukungan untuk pemberontakan.
Di Singapura, ia bertemu dengan Subakat, seorang pemimpin PKI lainnya, yang berbagi pandangannya. Mereka akhirnya sepakat untuk menggagalkan rencana Musso dan Alimin. Selama periode ini, Tan Malaka menulis “Aksi Massa”, yang menyampaikan pendapatnya tentang gerakan nasionalis dan revolusi Indonesia.
Dalam bukunya ini, ia mengusulkan pembentukan Aslia, sebuah federasi sosial antara negara-negara Asia Tenggara dan Australia Utara. Buku ini diharapkan mendukung usahanya untuk mengubah arah PKI dan mendapatkan dukungan dari kader di dalam partainya.
Pengejaran Belanda
Pada bulan Desember 1926, Tan Malaka pergi ke Bangkok, Thailand, untuk memahami kekalahan PKI. Di sana, bersama dengan Djamaludin Tamin dan Subakat, ia mendirikan Partai Republik Indonesia pada awal Juni 1927. Partai ini berjarak dari Komintern dan dalam manifesto barunya, mereka mengkritik PKI.
Walaupun PKI memiliki keanggotaan yang terbatas di dalam negeri, namun menjadi satu-satunya organisasi pada akhir tahun 1920-an yang secara terbuka mendukung kemerdekaan Indonesia, terutama karena PKI bergerak di bawah tanah. Beberapa tokoh terkemuka seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Mohammad Yamin juga tergabung dalam partai ini.
Kemudian, pada Agustus 1927, Tan Malaka kembali ke Filipina. Di sana, ia ditangkap pada tanggal 12 Agustus atas tuduhan masuk secara ilegal ke wilayah Filipina. Meskipun dibantu oleh Dr. San Jose Abad di pengadilan, ia dijatuhi vonis untuk dideportasi ke Amoy (Xiamen), China.
Polisi Permukiman Internasional di Kulangsu (Gulangyu) mendapat informasi tentang rencana perjalanan Tan Malaka ke Amoy dan mencoba menangkapnya untuk diekstradisi ke Hindia Belanda. Namun, dengan bantuan kapten dan kru yang mendukungnya, Tan Malaka berhasil melarikan diri. Ia kemudian pergi ke Shanghai pada akhir tahun 1929.
Pada waktu itu, kemungkinan ia bertemu dengan Alimin di sana pada Agustus 1931 dan mereka kemungkinan membuat kesepakatan. Setelah serangan oleh pasukan Jepang, Tan Malaka pindah ke Shanghai pada September 1932 dan berencana untuk pergi ke India dengan menyamar sebagai Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Namun, ia ditangkap oleh pejabat Inggris di Hong Kong pada awal Oktober 1932 dan ditahan selama beberapa bulan.
Meskipun ia berharap dapat menghadapi kasusnya dalam sistem hukum Inggris dan mungkin mendapatkan suaka di Inggris, ia akhirnya diasingkan dari Hong Kong tanpa pengadilan. Ia kemudian dideportasi ke Amoy lagi.
Tan Malaka berhasil melarikan diri sekali lagi dan menuju desa Iwe di selatan Cina, di mana ia dirawat dengan pengobatan tradisional Tiongkok. Setelah kesehatannya membaik pada awal tahun 1936, ia kembali ke Amoy dan membentuk Sekolah Bahasa Asing.
Pada Agustus 1937, ia pergi ke Singapura dengan identitas Tionghoa palsu dan bekerja sebagai guru. Ia kembali ke Indonesia melalui Penang setelah Belanda menyerah kepada Jepang.
Pada pertengahan tahun 1942, ia menulis Madilog. Setelah merasa perlu memiliki pekerjaan, ia bekerja di Badan Kesejahteraan Sosial dan dikirim ke tambang batu bara di Bayah, pantai selatan Banten.
Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka mulai berinteraksi dengan rekan-rekannya dan generasi muda. Ia juga kembali menggunakan nama aslinya setelah dua dekade menggunakan nama samaran. Selama perjalanannya di Jawa, ia menyaksikan perlawanan rakyat Surabaya terhadap Tentara India Inggris pada November.
Dari pengalaman ini, ia menyadari perbedaan antara semangat perjuangan rakyat di berbagai daerah dan pendekatan pemimpin di Jakarta. Menurutnya, para pemimpin terlalu lemah dalam menghadapi negosiasi dengan Belanda.
Untuk mengatasi keputusasaan ini, Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan (Front Perjuangan atau Aksi Bersatu), sebuah koalisi yang terdiri dari sekitar 140 kelompok kecil, dengan pengecualian utama PKI.
Setelah berbulan-bulan diskusi, koalisi ini resmi terbentuk melalui kongres di Surakarta pada pertengahan Januari 1946. Koalisi ini menganut “Program Minimum” yang menyuarakan kemerdekaan penuh sebagai tujuan utama, kepatuhan pemerintah terhadap kehendak rakyat, dan nasionalisasi aset perkebunan dan industri asing.
Persatuan Perjuangan meraih dukungan luas dari rakyat dan juga dalam lingkup tentara republik. Dukungan kuat datang dari Mayor Jenderal Sudirman, yang merupakan pendukung setia koalisi yang digagas oleh Tan Malaka. Pada Februari 1946, kelompok ini berhasil memaksa Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang mendukung pendekatan negosiasi dengan Belanda, untuk mengundurkan diri sementara.
Pada saat itu, Presiden Soekarno mencari dukungan dari Tan Malaka. Namun, meskipun upaya ini, Tan Malaka kesulitan untuk menjembatani perpecahan politik dalam koalisi tersebut sehingga menjadi kekuatan politik yang lebih solid. Akibatnya, ia akhirnya ditangkap, dan Sjahrir kembali memimpin kabinet di bawah kepemimpinan Soekarno.
Partai Murba
Setelah dibebaskan, Tan Malaka menghabiskan beberapa bulan di Yogyakarta, berupaya untuk mendirikan sebuah partai politik baru yang ia namakan Partai Murba (Partai Proletar), namun usahanya ini tidak berhasil menarik pengikut seperti sebelumnya.
Ketika Belanda merebut kendali pemerintahan nasional pada Desember 1948, ia melarikan diri dari Yogyakarta dan pergi ke pedesaan Jawa Timur, berharap dapat dilindungi oleh pasukan gerilya anti-republik. Ia mendirikan markas di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah, dan menjalin hubungan dengan Mayor Sabarudin, pemimpin Batalyon ke-38 yang dikenal karena keberaniannya dan tindakannya yang tegas. Tan Malaka menganggap kelompok Mayor Sabarudin sebagai satu-satunya kelompok bersenjata yang benar-benar melawan Belanda dengan gigih.
Wafat Tan Malaka
Setelah upaya pembentukan Partai Murba di Yogyakarta tak berhasil menarik perhatian yang diinginkan, Tan Malaka berpindah ke Jawa Timur pada masa pemerintahan Belanda. Di sana, dia mencari perlindungan dari gerilyawan anti-republik. Di tengah sawah desa Blimbing, dia menjalin hubungan dengan Mayor Sabarudin, pemimpin Batalyon ke-38 yang gigih melawan penjajah.
Namun, nasib tragis menimpa Tan Malaka. Pada 21 Februari 1949, setelah ditangkap dan ditahan di desa Patje, dia akhirnya menghadapi ajalnya di kaki Gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri. Tan Malaka ditembak mati atas perintah Letnan Dua Sukotjo dari batalyon Sikatan, divisi Brawijaya. Tak ada pencatatan resmi atas peristiwa tersebut, dan Tan Malaka pun dimakamkan di hutan, menutup lembaran perjuangannya.
Bio Data Tan Malaka
Nama Lengkap | Tan Malaka |
Nama Kecil | Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka |
Nama Lain | Tan Malaka, Elias Fuentes, Hasan Gozali, Ossario, Legas Hussein, Ramli Husein, Ilyas Hussein, Abdul Radjak, Tan Ming Sion, Estahislau Rivera, Alisio Rivera, Ong Song Lee, Cheung Kun Tat, Howard Lee |
Tempat, Lahir | Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 |
Tempat, Wafat | Selopanggung, Semen, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 |
Makam | Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta |
Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Indonesia | |
Agama | Islam |
Suku | Minangkabau |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Guru, Politisi |
Keluarga | |
Ayah | HM. Rasad Caniago |
Ibu | Rangkayo Sinah Simabur |
Isteri | – |
Anak | – |
Riwayat Pendidikan Tan Malaka
Pendidikan (Tahun) | Tempat |
---|---|
Kweekschool – Sekolah guru negeri (1908-1913) | Kweekschool, Bukittinggi |
Rijkswijk School – diploma hulpacte (1914-1915) | Rijks Kweekschool, Haarlem Belanda |
Karir Tan Malaka
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Mengajar anak-anak Kuli di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli | Guru (Januari 1920) |
Volksraad | Anggota (1921) |
Sarekat Islam | Anggota (1921 – 1922) |
Serikat Pegawai Pertjitakan (Asosiasi Pekerja Percetakan) | Ketua (Juni 1922) |
Serikat Pegawai Pelikan Hindia (SPPH; Persatuan Pekerja Minyak Hindia) | Wakil Ketua dan Bendahara (Juni 1921) |
Dewan Redaksi Jurnal SPPH | Dewan Redaksi (Agustus 1921) |
Partai Komunis Indonesia | Anggota (1921) |
Partai Komunis Indonesia | Ketua (1921 – 1922) |
Die Rote Gewerkschafts-Internationale (Serikat Merah Internasional) | Koresponden (Januari 1923) |
Wakil Perdana Menteri III Kabinet kerja IV dan Kabinet Dwikora | Wakil Perdana Menteri III Kabinet kerja IV dan Kabinet Dwikora (13 November 1963 – 1966) |
Biro Timur Komintern | Agen (Juni 1923) |
surat kabar nasionalis El Debate (Debat) | Koresponden (Juli 1925) |
Partai Republik Indonesia | Pendiri (Juni 1927) |
Persatuan Perjuangan (Front Perjuangan, atau Aksi Bersatu) | Januari 1946 |
Partai MURBA | Pendiri (7 November 1948) |
Penghargaan Tan Malaka
Tahun | Penghargaan |
---|---|
23 Maret 1963 | Pahlawan Nasional Indonesia |