Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.
Ia adalah salah satu pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Nasution juga dikenal karena perannya dalam menghadapi tantangan berat seperti Peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Selama peristiwa ini, ia selamat dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memainkan peran penting dalam memulihkan stabilitasnegara setelah kejadian tersebut.
Table of Contents
ToggleAwal Kehidupan
Lahir pada 3 Desember 1918 di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, Jenderal AH Nasution berasal dari keluarga Batak Muslim.
Sebagai anak kedua dan putra tertua, ayahnya, seorang pedagang yang juga anggota Sarekat Islam, menginginkan Nasution menempuh pendidikan agama, sementara ibunya bercita-cita agar ia menjadi seorang dokter di Batavia.
Setelah menyelesaikan sekolah pada tahun 1932, Nasution meraih beasiswa untuk belajar di Sekolah Raja Bukittinggi, tempat ia tinggal di asrama selama tiga tahun.
Pada tahun 1935, Nasution melanjutkan studi di AMS bagian B Jakarta selama tiga tahun. Minatnya terhadap profesi guru perlahan memudar ketika ketertarikannya terhadap politik semakin tumbuh.
Ia diam-diam membaca buku-buku karya Soekarno dan mulai terlibat dalam dunia politik. Pada tahun 1938, setelah menyelesaikan pendidikannya di AMS Jakarta, Nasution mengajar di Bengkulu, yang dekat dengan rumah pengasingan Soekarno.
Dia memiliki semangat politik berkat hubungan ini. Dia pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, tahun berikutnya, tetapi minatnya semakin beralih ke politik dan militer.
Karir Militer
Pada tahun 1940, saat Jerman Nazi menduduki Belanda dan Pemerintahan Kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan untuk orang Indonesia, Nasution bergabung dengan akademi militer. Melalui perjalanan ini, ia dipromosikan menjadi kopral pada September 1940, kemudian menjadi sersan tiga bulan setelahnya.
Di bawah koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), Nasution berkiprah sebagai perwira. Namun, saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Nasution berada di Surabaya.
Meskipun sempat bersembunyi karena takut ditangkap Jepang, Nasution membantu milisi PETA dengan mengantarkan pesan, meskipun tidak secara resmi menjadi anggota.
Divisi Siliwangi
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945, Jenderal AH Nasution bergabung dengan pasukan militer Indonesia yang nantinya dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada bulan Mei 1946, Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi Siliwangi Regional, yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Jawa Barat. Di posisinya, Nasution menciptakan gagasan tentang perang teritorial yang akan menjadi dasar doktrin pertahanan TNI.
Pada Januari 1948, terjadi Perjanjian Renville antara Pemerintah Indonesia dan Belanda, yang mengakibatkan pembagian wilayah Jawa antara kedua negara.
Bagian Jawa Barat jatuh ke tangan Belanda, sehingga Nasution dipaksa memimpin Divisi Siliwangi dalam perpindahan ke Jawa Tengah. Peristiwa ini menggambarkan peran krusial Jenderal Nasution dalam menjaga stabilitas dan beradaptasi dengan situasi yang berubah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Wakil Panglima TKR
Pada tahun 1948, Jenderal AH Nasution naik pangkat menjadi Wakil Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Meskipun hanya berpangkat Kolonel, posisi ini menjadikan Nasution sebagai sosok kedua paling berpengaruh di TKR setelah Jenderal Soedirman.
Dalam peran barunya ini, Nasution segera terlibat dalam reorganisasi struktur pasukan TKR pada bulan April. Pada bulan Juni, Nasution berhasil mendapatkan persetujuan untuk melancarkan perang gerilya melawan Belanda dalam sebuah pertemuan penting.
Pada bulan September 1948, Nasution mengambil peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dalam menghadapi Peristiwa Madiun. Saat itu, kota Madiun di Jawa Timur dikuasai oleh bekas Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Meskipun Soedirman berharap untuk mencapai penyelesaian damai, Nasution sebagai Wakil Panglima memutuskan untuk mengambil tindakan tegas setelah meragukan laporan damai dari Soeharto, yang diberi tugas untuk berunding dengan komunis.
Pada 30 September, pasukan republik berhasil merebut kembali Madiun dengan ribuan anggota PKI tewas dan banyak lainnya dipenjara.
Nasution berperan dalam mengakhiri pemberontakan komunis tersebut. Seiring waktu, beberapa pemimpin PKI seperti Musso dan DN Aidit melarikan diri atau ditangkap.
Pada Desember 1948, Belanda berhasil menyerang dan menduduki Yogyakarta. Nasution dan pasukan TKR bergerilya di pedesaan sebagai upaya melawan pendudukan tersebut.
Nasution adalah Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa di Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di Sumatra. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, dia kembali ke posisi Wakil Panglima TKR di bawah Soedirman.
Karir Nasution dan pengaruhnya dalam sejarah Indonesia yang lebih luas didasarkan pada peran pentingnya dalam berbagai peristiwa penting ini.
Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD)
Pada tahun 1950, Jenderal AH Nasution mengambil posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, sementara T.B. Simatupang menggantikan peran Soedirman yang telah meninggal sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang berkolaborasi untuk merestrukturisasi dan mereorganisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Dalam perubahan ini, mereka bertujuan untuk menciptakan tentara yang lebih modern dan profesional dengan ukuran yang lebih kecil.
Nasution dan Simatupang, yang keduanya mendapatkan pelatihan dari pemerintah kolonial Belanda, ingin menggabungkan prajurit yang dilatih oleh Belanda dan memisahkan mereka dari yang dilatih oleh Jepang. Namun, pandangan ini dihadang oleh Bambang Supeno, yang merupakan pimpinan dari prajurit yang dilatih oleh Jepang.
Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX mendukung kebijakan restrukturisasi, tetapi Bambang Supeno berhasil mendapatkan dukungan dari partai oposisi di DPR.
Hal ini mengakibatkan adanya perdebatan di DPR mengenai restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang merasa tidak nyaman dengan campur tangan urusan militer oleh warga sipil, yang menjadi isu dalam perjalanan mereka melakukan reformasi militer.
Peristiwa 17 Oktober
Pada tanggal 17 Oktober 1952, Jenderal AH Nasution dan T.B. Simatupang mengorganisir pasukan mereka dalam sebuah aksi demonstrasi kekuatan.
Mereka melakukan protes terhadap campur tangan sipil dalam urusan militer dengan mengelilingi Istana Kepresidenan dan menunjukkan moncong meriam ke arah bangunan tersebut.
Tuntutan mereka kepada Presiden Soekarno adalah agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan. Dalam upaya ini, Nasution dan Simatupang juga melibatkan demonstran sipil.
Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan berhasil meredakan ketegangan, mengajak baik para tentara maupun warga sipil untuk kembali ke rumah masing-masing. Akhirnya, Nasution dan Simatupang mengalami kegagalan dalam upaya mereka.
Tindakan Nasution dan Simatupang kemudian menjadi bahan penyelidikan oleh Jaksa Agung Suprapto. Pada bulan Desember 1952, keduanya kehilangan posisi mereka dalam ABRI dan diberhentikan dari jabatan mereka.
Hal ini menandai akhir dari perjuangan mereka dalam menghadapi campur tangan sipil dalam urusan militer, dan juga menunjukkan dinamika politik dan militer yang berperan dalam sejarah Indonesia pada waktu itu.
Menjadi KASAD kembali
Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun masa pengasingan, Jenderal AH Nasution kembali menduduki posisi Kepala Staf Angkatan Darat. Ia segera memulai usahanya dalam memperbaiki struktur dan fungsionalitas angkatan darat dengan menerapkan pendekatan tiga tahap yang inovatif.
Pendekatan pertama melibatkan penyusunan sistem rotasi tugas bagi perwira, memastikan penempatan mereka di berbagai wilayah negara untuk memperoleh pengalaman yang beragam. Dalam hal ini, tujuannya adalah membentuk perwira yang profesional tanpa loyalitas berlebihan pada provinsi atau daerah asal mereka.
Pendekatan kedua fokus pada standarisasi pelatihan militer di seluruh pasukan, menggantikan praktik sebelumnya di mana komandan daerah menetapkan metode pelatihan mereka sendiri.
Pendekatan ketiga, yang paling penting, berupaya meningkatkan independensi dan kekuatan militer agar mampu mengelola diri sendiri, bukan bergantung pada keputusan sipil.
Meskipun dua pendekatan pertama berhasil diterapkan dengan lancar, Nasution harus menunda penerapan pendekatan ketiga.
Pada tahun 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan gagasan Demokrasi Terpimpin sebagai tanggapan atas kekecewaan terhadap model Demokrasi Parlementer yang telah berlaku sejak November 1945. Ini menimbulkan koneksi yang sama dengan Nasution dan tentara, yang masih mengingat gangguan sipil terhadap urusan militer pada tahun 1952.
Pada 14 Maret 1957, setelah menerima pengunduran diri Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan kabinetnya, Soekarno mendeklarasikan keadaan darurat. Langkah ini bukan hanya mengubah peran seremonial Soekarno menjadi lebih kuat, tetapi juga memperkuat pengaruh militer. Dalam struktur ini, panglima daerah mendapatkan wewenang untuk campur tangan dalam masalah sipil seperti ekonomi dan administrasi.
Mengikuti instruksi Soekarno, tentara juga mulai terlibat dalam politik, menduduki posisi dari menteri hingga anggota parlemen. Pada Desember 1957, Nasution memperkuat peran militer dengan mengarahkan tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru saja dinasionalisasi. Ini bertujuan untuk mengatasi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin kuat selain meningkatkan posisi militer.
Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato penting yang kelak menjadi dasar doktrin Dwifungsi yang diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Dalam pidato tersebut di Magelang, Jawa Tengah, Nasution menegaskan perlunya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjalankan “jalan tengah” dalam kaitannya dengan masyarakat.
Nasution menekankan bahwa ABRI tak boleh tunduk sepenuhnya pada kendali sipil, namun juga harus menghindari dominasi yang berlebihan agar tidak berubah menjadi kediktatoran militer.
Pemberontakan PRRI
Pada akhir tahun 1956, muncul tuntutan dari panglima daerah di Sumatra yang mendambakan otonomi yang lebih besar untuk provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tak mendapatkan respon positif dari pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak dan pada awal 1957, dengan tegas mengambil alih kendali pemerintahan di wilayah Sumatra.
Situasi ini mencapai puncaknya ketika pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Langkah ini memaksa pemerintah pusat untuk merespons dengan tindakan.
Jenderal AH Nasution, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, sebelumnya telah sering terlibat dalam mobilitasi pasukan ke Sumatra. Namun, pada kali ini, tanggung jawab memimpin pasukan diberikan kepada Kolonel Ahmad Yani. Dengan kepemimpinan Yani, pasukan dikirim ke Sumatra dan berhasil mengatasi pemberontakan yang sedang berlangsung.
Membasmi Korupsi di AD
Sejak tahun 1956, Jenderal AH Nasution telah berupaya keras untuk memberantas korupsi di lingkungan Angkatan Darat, namun perubahan kembalinya UUD 1945 menguatkan tekadnya dalam hal ini. Baginya, militer harus menjadi contoh bagi seluruh masyarakat.
Seiring dengan keputusan Soekarno, Nasution segera mengambil tindakan dengan mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan di KodamVII/Diponegoro, termasuk melibatkan Kolonel Soeharto, panglima di sana.
Hasil penyelidikan Sungkono mengungkapkan bahwa saat menjabat sebagai pangdam, Soeharto mendirikan yayasan untuk membantu komunitas lokal.
Namun, pendanaan yayasan ini terjadi melalui pungutan yang bersifat wajib, bukan sumbangan sukarela, dari sektor industri dan layanan. Selain itu, terbongkar pula aktivitas barter ilegal yang melibatkan Soeharto, di mana ia menukarkan gula dengan beras dari Thailand.
Nasution merencanakan tindakan tegas terhadap Soeharto dan ingin mengeluarkannya dari militer. Namun, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Gatot Soebroto, ikut campur tangan dalam situasi ini. Gatot yang telah melihat potensi dan bakat Soeharto saat ia menjabat sebagai PangdamVII/Diponegoro, meminta Nasution untuk tidak mengeluarkan Soeharto.
Gatot meyakinkan Nasution bahwa potensi Soeharto layak dikembangkan lebih lanjut. Meski demikian, Nasution tetap mendengar saran Gatot. Keputusannya akhirnya adalah mencopot Soeharto dari jabatannya dan memberikannya hukuman dengan mengirimnya ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Pembebasa Irian Barat
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno senantiasa menganggap Irian Barat sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah Indonesia. Meski Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat masih tetap berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Soekarno tidak menyerah dan terus giat mempromosikan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia melalui upaya diplomasi di PBB serta melalui Konferensi Asia-Afrika, di mana negara-negara peserta berjanji mendukung klaim Indonesia. Namun, Belanda tetap keras kepala dalam pendiriannya.
Pada tahun 1960, kesabaran Soekarno semakin menipis. Pada bulan Juli, ia berkumpul dengan para penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan setuju untuk menerapkan strategi konfrontasi terhadap Belanda mengenai masalah Irian Barat.
Dalam persiapan untuk langkah ini, Nasution menaruh perhatian pada Soeharto, yang telah menyelesaikan kursus Seskoad pada November 1960. Soeharto, yang kini sudah menjadi brigadir jenderal, dipercayakan oleh Nasution untuk membentuk unit pasukan strategis yang siap tindak setiap saat.
Pada Maret 1961, terbentuklah Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dengan Soeharto sebagai panglima. Pada tahap selanjutnya, yaitu tahun 1963, unit ini berganti nama menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada awal 1962, Nasution dan Yani bertugas sebagai komandan dalam operasi Pembebasan Irian Barat, dan Soeharto bertugas sebagai komandan lapangan di wilayah timur Indonesia.
Tindakan ini merefleksikan tekad dan usaha keras Indonesia untuk menyatukan Irian Barat ke dalam wilayah negara, menegaskan peran penting Nasution dalam merancang dan melaksanakan strategi yang mendukung tujuannasional ini.
PKI (Partai Komunis Indonesia) Rivalitas dengan PKI
Pada titik ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai mitra politik utamanya, menggeser perhatian dari militer. Meskipun Indonesia telah menyatakan sikap nonblok selama Perang Dingin, klaim bahwa PRRI mendapat bantuan dari Amerika Serikat mendorong Soekarno untuk mengadopsi sikap anti-Amerika.
Ini membuat PKI menjadi sekutu yang lebih alami bagi Soekarno. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno akan memperkuat momentum politik mereka, mengingat pengaruhmereka yang semakin tumbuh dalam politik Indonesia.
Nasution menjadi lebih waspada terhadap pengaruh PKI terhadap Soekarno, sementara Soekarno sendiri menyadari ketidaksetujuan Nasution terhadap pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk mengurangi kekuatannya.
Pada bulan Juli 1962, Soekarno merombak struktur ABRI. Kedudukan pimpinan masing-masing cabang Angkatan Bersenjata ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Panglima cabang akan memiliki wewenang lebih besar dan hanya bertanggung jawab kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI.
Nasution diangkat sebagai Kepala Staf ABRI oleh Soekarno, sedangkan Ahmad Yani diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Dengan langkah ini, kekuasaan Nasution menurun; sebagai Kepala Staf ABRI, tanggung jawabnya hanya sebatas administratif dan tidak ada unit pasukan yang ia kendalikan.
Dalam posisi yang terbatas, Nasution mencari cara untuk menghentikan kemajuan PKI. Peluang ini muncul pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Dalam sidang ini, Nasution, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan anggota TNI yang hadir mengusulkan mosi agar Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
Alasan di balik usulan ini adalahbahwa dengan menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, pemilihan umum tidak diperlukan, dan tanpa pemilihan, PKI tidak akan memiliki peluang untuk berkuasa terlepas dari pertumbuhan partai politik lain. Pada akhirnya, Soekarno ditetapkan sebagai presiden untuk seumur hidup.
Pemberontakan PKI (G30S/PKI)
Pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri Gerakan 30 September (G30S) mencoba menculik tujuh perwira Angkatan Darat yang anti-komunis, termasuk Nasution.
Dipimpin oleh Letnan Doel Arief, pasukan ini menggunakan empat truk dan dua mobil militer, merayap di Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4 pagi. Di rumah Nasution, berada di No. 40,sebuah rumah sederhana satu lantai, situasi berlangsung.
Awalnya, penjaga di pos jaga dan ruang jaga rumah belum curiga terhadap kendaraan yang datang, karena tampaknya ada orang-orang berseragam tentara.
Pasukan Arief berhasil mengatasi para penjaga yang mengantuk,lalu masuk dari berbagai arah dan mengepung rumah dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke dalam rumah.
Meskipun terganggu oleh nyamuk dan terjaga, Nasution dan istrinya, Nyonya Nasution, tidak menyadari sepenuhnya situasi. Namun, Nyonya Nasution bangun ketika dia mendengar pintu kamar dibuka paksa. Saat membuka pintu ia melihat tentara dari pasukan Cakrabirawa—pengawal presiden—dengan senjata siap menembak.
Dia cepat-cepat menutup pintu dan berteriak kepada suaminya. Nasution ingin melihat sendiri apa yang terjadi, dan saat dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai, dan Nyonya Nasution membanting pintu dan menguncinya.
Sementara itu, pasukan yang lain terus merusak pintu bawah dan menembak ke dalam kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan mereka berlari ke koridor menuju pintu samping rumah.
Nasution melarikan diri ke halaman dan menuju dinding yang memisahkan rumahnya dari Kedutaan Besar Irak. Tentara mencoba menembak Nasution, tetapi tembakan itu meleset. Nasution berhasil memanjat dinding, tetapi saat jatuh di halaman Kedutaan Irak, ia mengalami patah pergelangan kaki.
Ketika kejadian ini terjadi, penghuni rumah lainnya juga terbangun dan ketakutan oleh suara tembakan. Mardiah, ibu dan adik Nasution, serta putri Nasution yang berusia lima tahun, Irma, berlari ke kamar tidur Nasution. Irma ditembak dan terluka dalam usaha melarikan diri, dan meninggal beberapa hari kemudian di rumah sakit.
Tendean juga mencoba melarikan diri, tetapi dia tertangkap tak lama setelah keluar rumah. Pada saat itu, suasana gelap dan Tendean telah berada di bawah ancaman senjata. Nyonya Nasution lari masuk rumah dan membawa putrinya yang terluka.
Pasukan Cakrabirawa mendesaknya untuk memberi tahu mereka keberadaan suaminya. Dalam percakapan singkat dan penuh emosi, Nyonya Nasution memberi informasi palsu tentang Nasution yang sedang berada di luar kota.
Setelah peristiwa itu, Nasution berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, komandan garnisun Jakarta, tiba di rumah Nasution untuk mengecek situasi.
Pasukan G30S telah gagal dalam upaya mereka, dan peristiwa itu menjadi salah satu momen penting yang memicu peristiwa yang lebih besar dalam sejarah Indonesia.
Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Johannes Leimena, Wakil Perdana Menteri Indonesia yang juga tetangga Nasution, mendengar kegaduhan dan mendekati rumah Nasution. Dalam kebingungannya, Tubun ditembak dan tewas oleh pasukan G30S. Pembunuhan Tubun tidak direncanakan sebelumnya.
Meskipun mengalami patah pergelangan kaki, Nasution memutuskan untuk kembali ke rumahnya setelah bersembunyi di halaman tetangganya hingga pukul enam pagi.
Karena merasa lebih aman, Nasution meminta bantuan untuk dibawa ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. Ia juga mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad untuk memberitahukan bahwa ia masih hidup dan aman.
Setelah mengetahui bahwa Soeharto telah mengambil alih komando, Nasution memberikan instruksi kepada Soeharto, termasuk mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan menuju kota.
Sekitar pukul 14:00, setelah G30S mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim pesan lain kepada Soeharto, Martadinata, dan Joedodihardjo.
Dalam pesan tersebut, Nasution menyatakan keyakinannya bahwa Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Oleh karena itu, ia memerintahkan ABRI untuk membebaskan Soekarno, memulihkan keamanan di Jakarta, dan menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.
Soeharto segera mengambil langkah-langkah untuk mengamankan Jakarta. Pada saat yang sama, pesan dari Soekarno tiba di markas Kostrad, yang mengindikasikan bahwa Soekarno telah mengganti Panglima Angkatan Darat dengan Mayjen Pranoto Reksosamodra.
Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi ke Halim dan memperkuat posisinya dengan meminta Nasution untuk datang ke markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, di mana Soeharto telah mulai menggerakkan pasukan untuk mengamankan Jakarta dari G30S.
Setelah Jakarta diamankan, Nasution memberikan pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Martadinata kemudian datang dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Namun, Nasution dan Soeharto mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat hingga setelah upaya menumpas G30S berhasil.
Dengan cepat, pasukan Sarwo Edhie Wibowo di bawah komando Soeharto berhasil mengamankan Jakarta, dan perhatian mereka kemudian diarahkan ke pangkalan udara Halim.
Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu upaya Soeharto, sementara untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah agar mereka tidak dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak perintah Dhani.
Pada tanggal 2 Oktober pukul 06:00, Halim berhasil dikuasai, dan upaya Gerakan 30 September secara resmi digagalkan.
Kesempatan
Pada tanggal 1 Oktober, walaupun peran Soeharto semakin penting, banyak perwira Angkatan Darat masih mencari arahan dari Nasution dan mengharapkan kepemimpinan kuat darinya.
Namun, Nasution terlihat ragu-ragu dan dukungan mulai merosot perlahan. Mungkin ini disebabkan oleh duka atas kematian putrinya, Ade Irma, pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu awal setelah peristiwa G30S, Nasution adalah orang yang terus mendorong Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Soekarno, yang awalnya ingin Pranoto memimpin angkatan darat, pada akhirnya terpengaruh oleh lobi berkelanjutan dari Nasution. Pada tanggal 14 Oktober 1965, Soekarno akhirnya menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat, menggantikan Pranoto.
Pada bulan Desember 1965, Nasution memiliki peluang emas untuk menjadi wakil presiden dan membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian. Namun, Nasution tidak memanfaatkannya dan memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun.
Pada awal 1966, Soeharto mengambil inisiatif dengan mengeluarkan pernyataan bahwa kursi wakil presiden yang kosong tidak perlu diisi. Pada tanggal 24 Februari 1966, Nasution berhenti menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
Pada saat ini, harapan akan tindakan Nasution semakin memudar, dan dukungan dari para perwira militer dan gerakan mahasiswa semakin mengalir ke Soeharto. Meskipun demikian, Nasution masih tetap dihormati, banyak perwira militer datang menemuinya menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen yang mentransfer kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Bahkan, ketika Soeharto akan pergi ke Markas Kostrad untuk menunggu kedatangan Supersemar, ia menelepon Nasution untuk meminta restu. Meskipun Nasution tidak hadir, istrinya memberikan restu atas namanya.
Indra politik Nasution kembali muncul setelah Soeharto menerima Supersemar. Ini mungkin karena Nasution pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto, tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.
Pada tanggal 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto untuk membentuk kabinet darurat. Meskipun Soeharto awalnya ragu karena tanggung jawab presiden, Nasution mendorong dan menawarkan dukungan penuh. Namun, percakapan tersebut berakhir tanpa tindak lanjut dari Soeharto. MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
Pada awalnya, Soeharto menggunakan kekuatan barunya untuk membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis. Setelah menangkap 15 menteri kabinet pada tanggal 18 Maret 1966, perhatiannya beralih ke MPRS. Ia menggantikan anggota MPRS yang dianggap berpihak pada komunis dengan mereka yang lebih mendukung tujuan militer.
Proses pembersihan ini juga memunculkan kekosongan jabatan Ketua MPRS setelah Chaerul Saleh dipecat. Nasution adalah kandidat populer untuk mengisi posisi ini, dan semua fraksi di MPRS mendukungnya. Namun, Nasution menunggu hingga Soeharto secara resmi mendukung pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada tanggal 20 Juni 1966, dimulailah Sidang Umum MPRS. Nasution menempatkan Supersemar sebagai agenda pertama, dan pada tanggal 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar, mengikat Soekarno untuk tidak dapat mencabutnya kembali.
Namun, pada pidato Soekarno pada tanggal 22 Juni, yang disebut Nawaksara (Sembilan Butir), ia tidak membahas peristiwa G30S. MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Dalam dua minggu berikutnya, Nasution memimpin Sidang Umum MPRS dengan tegas. MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan mengadakan pemilihan legislatif pada Juli 1968.
MPRS juga memberi wewenang lebih besar kepada Soeharto dengan memerintahkan pembentukan kabinet baru. Selanjutnya, diputuskan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan mengambil alih, bukan wakil presiden.
Tahun 1966 berlalu, dengan popularitas Soekarno semakin merosot dan kekuasaannya semakin terbatas. Soeharto, yang merasa kemenangannya semakin dekat, menjaga hubungan sopan dengan Soekarno, berbicara meyakinkan dan membelanya dari tekanan para demonstran.
Namun, Nasution tidak memiliki belas kasihan yang sama. Ia menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi sulit yang dihadapi pemerintahan dan masyarakat Indonesia saat itu. Nasution bahkan mengusulkan agar Soekarno diadili.
Pada tanggal 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi, dan Soekarno menyerahkan laporan (bukan pidato langsung) yang diharapkan akanmenangani peristiwa G30S.
Laporan itu, yang disebut “Pelengkap Nawaksara”, menyebut peristiwa tersebut sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok) dan mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab dari Soekarno. Namun, laporan ini juga ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR meminta Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk menggantikan Soekarno dengan Soeharto sebagai presiden. Pada tanggal 12 Maret 1967, Soekarno resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS.
Nasution kemudian mengambil peran penting dalam mengambil sumpah Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
Menjadi Oposisi Orde Baru
Walaupun dibantu oleh Nasution dalam naik ke tampuk kekuasaan, Soeharto ternyata melihat Nasution sebagai saingan dan segera merencanakan untuk menghapusnya dari panggung politik.Pada tahun 1969, Nasution tidak diperbolehkan untuk berbicara di Akademi Militer dan Seskoad.
Pada tahun 1971, tanpa peringatan, Nasution mendapati dirinya diberhentikan dari dinas militer, padahal usianya baru 53 tahun, dua tahun sebelum batas pensiun di usia 55 tahun. Kejadian ini membuatnya secara tiba-tiba terguling dari jabatan pentingnya, dan Nasution mulai dikenal dengan sebutan “Gelandangan Politik”.
Setelah dijatuhkan dari kekuasaan, Nasution berubah menjadi lawan politik rezim Orde Baru. Pada akhir tahun 1970-an, pemerintahan Soeharto yang semula populer mulai tercemar oleh otoritarianisme dan korupsi.
Pada periode ini, kritik terhadap rezim semakin terbuka. Setelah pemilu legislatif kontroversial tahun 1977, di mana ada dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Golkar, Nasution menyatakan bahwa krisis kepemimpinan merongrong Orde Baru.
Nasution dan mantan wakil presiden Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) pada Juli 1978. Namun, pemerintah langsung menanggapi masalah ini dan melarang YLKB mengadakan pertemuan pertamanya pada Januari 1979.
Nasution dan YLKB tetap semangat meskipun mereka ditentang. Pada bulan Agustus 1979, Nasution berhasil mengatur pertemuan yang dihadiri oleh semua anggota DPR dan bahkan anggota ABRI. Dalam pertemuan tersebut, Nasution mengkritik rezim Orde Baru karena dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 sepenuhnya.
Soeharto menanggapi kritik tersebut dengan tindakan. Pada 27 Maret 1980, dalam rapat ABRI, ia mengajukan tuntutan agar anggota ABRI harus siap mempertahankan kursi mereka di DPR dan melindungi Pancasila serta UUD 1945 dari potensi perubahan.
Soeharto mengarahkan ABRI untuk menjadi kekuatansosial-politik yang bekerja sama dengan mitra politik yang setia padaPancasila dan UUD 1945. Tujuannya adalah untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang meragukan komitmen ini.
Pada pidato lainnya pada tanggal 16 April 1980, Soeharto menyatakan bahwa jika diperlukan, ia bahkan akan “menculik” anggota MPR yang ingin mengamandemen konstitusi.
Nasution merasa perlu mengambil tindakan lebih tegas sebagai penentang rezim. Ia mengumpulkan sejumlah tokoh, termasuk mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, dan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Mochamad Jasin.
Bahkan mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara turut bergabung. Mereka bersama dengan sejumlah kritikus pemerintah lainnya, menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980.
Petisi ini diberi nama demikian karena terdapat 50 tanda tangan yang menuntut agar Soeharto tidak sembarangan menafsirkan Pancasila dan agar ABRI menjaga netralitasnya dalam politik.
Petisi ini diserahkan ke DPR pada 13 Mei 1980 dan memicu perhatian serius, terutama dari anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka meminta Soeharto merespon isu ini.
Namun, Soeharto hanya merujuk pada pidato-pidatonya sebelumnya dan menolak untuk memberikan respons lebih lanjut. PPP dan PDI akhirnya terhenti, menyadari dominasi Golkar yang sulit untuk diatasi. Bagi para penandatangan petisi seperti Nasution, hambatan dibuat dengan pembatasan perjalanan dan bisnis yang sulit, sehingga mereka menghadapi kesulitan dalam mencari nafkah.
Rekonsiliasi
Pada awal tahun 1990-an, terjadi perubahan dalam kebijakan politik Soeharto, yang mulai membuka diri terhadap kritik dan melonggarkan penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50. Pada Juni 1993, ketika Nasution sedang sakit dan dirawat di rumah sakit, dia dikunjungi oleh para petinggi militer.
Kemudian, Menteri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie, datang dengan undangan untuk Nasution dan sesama penandatangan Petisi 50 lainnya, mengajak mereka mengunjungi galangan kapal dan pabrik pesawat yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Pemerintah juga mulai berpendapat bahwa meskipun ada larangan perjalanan bagi penandatangan Petisi 50, Nasution dikecualikan dari larangan tersebut. Sementara itu, Nasution menampik bahwa dia pernah mengkritik pemerintah, lebih suka menyebutnya sebagai “perbedaan pendapat”.
Pada akhirnya, Soeharto mengundang Nasution untuk bertemu di Istana Presiden pada Juli 1993. Pertemuan tersebut diikuti oleh pertemuan lain pada 18 Agustus 1993, setelah perayaan Hari Kemerdekaan.
Meskipun tidak ada pembicaraan politik yang terjadi, jelas bahwa mereka berdua berusaha untuk meredakan perbedaan yang ada di antara mereka. Dalam sebuah wawancara pada tahun 1995, Nasution mengadvokasi upaya rekonsiliasi di Indonesia, dengan tujuan menyatukan bangsa di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pada tanggal 5 Oktober 1997, dalam peringatan Hari Ulang Tahun ABRI, Nasution diberikan pangkat kehormatan Jenderal Besar, sebuah penghargaan yang juga diberikan kepada Soeharto dan Soedirman.
Akhir hayat dan keluarga Nasution
Pada 30 Mei 1947, Nasution menikah dengan Johanna Sunarti di Ciwidey, Bandung. Dari pernikahannya ini, mereka diberkahi dengan dua orang putri yang sangat dicintainya, yaitu Hendrianti Saharah Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution.
Sayangnya, Ade Irma menjadi salah satu korban tragis dalam peristiwa G30S yang mengguncang Indonesia. Pada tahun 2010, Nasution harus menghadapi kesedihan lain saat sang istri, Johanna Sunarti, berpulang di usia 87 tahun.
Nasution sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 6 September 2000 di Jakarta setelah melalui perjuangan melawan stroke yang mengakibatkannya koma. Warisannya dalam sejarah militer dan politik Indonesia tetap melekat kuat.
Ia dihormati sebagai tokoh penting dalam mengawal perjalanan bangsa. Setelah kepulangannya, Nasution dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya bagi negara.
Namun, takdir memisahkan Nasution dari putrinya Hendrianti Saharah, yang juga menghadapi kematian pada tahun 2021, pada usia 69 tahun. Meskipun perjalanan hidup Nasution penuh liku-liku dan tantangan, dia meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah Indonesia, sebagai seorang prajurit, pemimpin, dan pahlawan yang berdedikasi untuk kemajuan dan persatuan bangsa.
Bio Data Jenderal Abdul Haris Nasution
Nama Lengkap | Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Abdul Haris Nasution |
Nama Kecil | Abdul Haris Nasution |
Nama Lain | A.H Nasution, Pak Nas |
Lahir | Kotanopan, Mandailing, Tapanuli, 3 Desember 1918 |
Wafat | Jakarta, 6 September 2000 |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Tentara |
Institusi | Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat |
Pangkat Akhir | Jenderal Besar TNI AD |
Keluarga | |
Ayah | H. Abdul Halim Nasution |
Ibu | Zahara Lubis |
Istri (Menikah-Akhir) | Johanna Sunarti (30 Mei 1947 – 6 September 2000) |
Anak | Hendrianti Saharah Nasution, Ade Irma Suryani Nasution |
Riwayat Pendidikan Jenderal Abdul Haris Nasution
Pendidikan (Tahun) | Tempat |
---|---|
Hollandsch-Inlandsche School (1929 – 1932) | Hollandsch-Inlandsche School, Yogyakarta |
Holandsche Indische Kweekschool (1932 – 1935) | Holandsche Indische Kweekschool, Yogyakarta |
Algemeene Middelbare School (1935 – 1938) | Algemeene Middelbare School, Jakarta |
Akademi Militer (1940 – 1942) | Akademi Militer Bandung |
Karir Jenderal Abdul Haris Nasution
Organisasi/Lembaga | Jabatan |
---|---|
Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) | Perwira (1942) |
Komando Daerah Militer 03 Siliwangi | Panglima KODAM (20 Mei 1946) |
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) | Wakil Panglima ke-1 (1948 – 1953) |
Tentara Nasional Indonesia (TNI) | Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-2 (27 Desember 1949 – 18 Oktober 1952) |
Tentara Nasional Indonesia (TNI) | Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-5 (1 November 1955 – 21 Juni 1962) |
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) | Panglima ABRI ke-3 (1955 – 1959) |
Kementerian Pertahanan dan Keamanan Indonesia | Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-12 (10 Juli 1959 – 24 Februari 1966) |
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) | Panglima ABRI ke-5 (1961 – 1968) |
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) | Ketua MPRS ke-2 (1966 – 1972) |
Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) | Pendiri (1978) |
Penghargaan Jenderal Abdul Haris Nasution
Tahun | Penghargaan |
---|---|
1962 | Doktor Honoris Causa Ilmu Ketatanegaraan, Universitas Islam Sumatera Utara |
1962 | Doktor Honoris Causa Ilmu Polotik, Universitas Padjadjaran |
1962 | Doktor Honoris Causa Ilmu Negara, Universitas Andalas |
1972 | Doktor Honoris Causa, Universitas Mindanao |
Penghargaan Bintang Jenderal Abdul Haris Nasution
Penghargaan | Gambar |
---|---|
Bintang Republik Indonesia Adipradana (26 September 1997) | |
Bintang Republik Indonesia Utama (10 Januari 1963) | |
Bintang Mahaputera Adipradana (1961) | |
Bintang Sakti | |
Bintang Dharma | |
Bintang Yudha Dharma Utama | |
Bintang Kartika Eka Paksi Utama | |
Bintang Jalasena Utama | |
Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama | |
Bintang Bhayangkara Utama | |
Bintang Gerilya | |
Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | |
Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan | |
Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun | |
Satyalancana Jasadharma Angkatan Laut | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan I | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan II | |
Satyalancana G.O.M I | |
Satyalancana G.O.M II | |
Satyalancana G.O.M III | |
Satyalancana G.O.M VI | |
Satyalancana Satya Dharma | |
Satyalancana Wira Dharma | |
Satyalancana Penegak | |
Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (1994) | |
Knight Grand Cross of the Most Exalted Order of the White Elephant – Thailand (1960) | |
First Rank of the Order of the People’s Army with Laurer Wreath – Yugoslavia (1960) | |
First Rank of the Order of the Yugoslav Flag with Sash – Yugoslavia (1961) | |
Military Medal of the Republic – Republik Arab Bersatu (1961) | |
Commander of the Philippine Legion of Honor – Filipina (1963) | |
Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany – Jerman (1963) | |
Jubilee Medal “Twenty Years of Victory in the Great Patriotic War 1941–1945” – Uni Soviet (1965) | |
Grand Cross (Datu) of the Order of Sikatuna – Filipina (1967) | |
Grand Cross and Collar of the Order of the Holy Trinity – Kekaisaran Etiopia (1968) | |
Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau – Belanda (1971) |