Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Perang Diponegoro: Pemberontakan Besar di Tanah Jawa

Peristiwa Perang Diponegoro, yang dikenal pula sebagai Perseteruan Jawa, adalah konflik besar yang mengguncang Pulau Jawa, yang saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda, sekarang dikenal sebagai Indonesia, selama periode lima tahun yang berlangsung dari 1825 hingga 1830.

Konflik ini menampilkan dua kekuatan utama pasukan Belanda di bawah komando Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang bertekad untuk menundukkan pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, tokoh penting dari kalangan pribumi yang menentang kekuasaan Belanda.

Perang Diponegoro memakan korban yang sangat besar. Ribuan jiwa rakyat Jawa kehilangan nyawa, sementara pasukan Belanda juga tidak luput dari korban, dengan puluhan ribu tentara Belanda dan serdadu pribumi tewas dalam pertempuran tersebut. Akhirnya, perang ini menegaskan dominasi Belanda atas Pulau Jawa.

Berbeda dengan konflik sebelumnya yang dipimpin oleh Raden Ronggo, perang Diponegoro juga mencatatkan target serangan terhadap komunitas Tionghoa yang tinggal di Pulau Jawa. Meskipun Pangeran Diponegoro secara jelas menginstruksikan pasukannya untuk tidak bergabung dengan komunitas Tionghoa, sebagian kecil pasukan Jawa di wilayah pesisir utara menerima bantuan dari masyarakat Tionghoa setempat yang mayoritasnya beragama Islam.

Latar Belakang

Kisah perseteruan antara keraton Jawa dan Belanda dimulai sejak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada 5 Januari 1808. Meskipun tugas utamanya adalah mempersiapkan Jawa sebagai pangkalan pertahanan Prancis melawan Inggris( saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis), Daendels tak hanya mengubah tatanan administrasi, tetapi juga budaya yang telah berlangsung lama di keraton Jawa, menyulut kebencian di kalangan keraton.

Dengan menggunakan kekuatan militernya, Daendels memaksa Keraton Yogyakarta untuk memberikan akses pada sumber daya alam dan manusia, serta membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, yang kemudian memicu insiden perdagangan kayu jati di wilayah timur Yogyakarta yang menyebabkan pemberontakan Raden Ronggo pada tahun 1810.

Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo, Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II untuk membayar ganti rugi perang dan melakukan berbagai tindakan penghinaan lainnya, yang mengakibatkan konflik internal di antara keluarga keraton pada tahun 1811. Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan Belanda.

Meskipun awalnya Inggris, di bawah pimpinan Thomas Stamford Bingley Raffles, mendukung Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris kemudian menyerbu Keraton Yogyakarta pada 19- 20 Juni 1812, dengan menurunkan secara tidak hormat Sultan Hamengkubuwana II dan menggantikannya dengan putranya yang lebih muda, Sultan Hamengkubuwana III, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepehi.

Geger Sepehi menyaksikan penghancuran sebagian bangunan keraton oleh Inggris, serta penjarahan harta berharga dan perhiasan kesultanan, dan pengasingan Sultan Hamengkubuwana II ke Pulau Pinang. Hubungan antara keraton dan Inggris berubah sebagai akibatnya keraton mengalami kerugian besar.

Pemerintahan Inggris berlangsung hingga tahun 1815, ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda sesuai dengan isi Konvensi London( 1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Sultan Hamengkubuwana III meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Hamengkubuwana IV, yang pada saat itu berusia 10 tahun.

Pangeran Natakusuma, adik dari Hamengkubuwana II yang telah memberikan dukungan kepada Inggris, diangkat sebagai adipati di Puro Kadipaten Pakualaman dengan gelar Paku AlamI. Melihat usia muda Hamengkubuwana IV, Paku Alam I diangkat sebagai wali raja oleh Raffles untuk menghormati jasanya dan memenuhi janji- janji yang telah diberikan kepadanya.

period Daendels dan Raffles menandai awal berakhirnya kekuasaan keraton di bagian selatan Jawa Tengah. Meskipun keraton- keraton tersebut tetap berdiri hingga sekarang, kekuatan dan otoritas mereka telah diambil alih oleh bangsa Eropa pada tahun 1812, menjadikan mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi pemerintahan kolonial.

Sistem pemerintahan kolonial yang sentralistik berbenturan dengan tradisi Jawa yang membagi wilayah menjadi berbagai bagian. Bangsa Eropa, yang sebelumnya hanya menguasai Batavia dan pantai utara Jawa, kini dapat merambah ke pedalaman Jawa yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan keraton Jawa.

Penyerahan diri Sultan Hamengkubuwana II kepada Raffles setelah peristiwa Geger Sepehi menandakan perubahan dalam hubungan antara pemerintahan kolonial dan penguasa Jawa, yang kini dianggap setara atau bahkan lebih rendah daripada kolonial, serta menunjukkan campur tangan kolonial dalam urusan internal keraton.

Jatuhnya Keraton Yogyakarta pada tahun 1812 menciptakan dinamika baru dalam masyarakat, seperti munculnya kelompok santri dan petani yang kemudian bersatu selama perang Diponegoro.

Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert

Pada tanggal 6 Desember 1822, dunia keraton Jawa terguncang oleh kematian mendadak Hamengkubuwana IV pada usia 19 tahun.

Ratu Ageng, permaisuri Hamengkubuwana II, dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono, permaisuri Hamengkubuwana IV, memohon kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang baru berusia 2 tahun sebagai Hamengkubuwana V, serta menghentikan peran Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro pun diangkat menjadi wali bersama dengan Mangkubumi untuk mengurus kepentingan keponakannya.

Namun, kedamaian tersebut terganggu oleh sikap keterlaluan Residen baru Yogyakarta, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert, yang terlibat dalam penunjukan Sultan pada bulan Juni 1823 tanpa memperhitungkan konsultasi dengan pihak keraton. Smissaert bahkan duduk di atas tahta keraton dalam lima upacara Garebeg, menyiratkan penghinaan yang dirasakan oleh masyarakat Jawa.

Meskipun Pangeran Diponegoro masih menjadi Wali Sultan, pengaruhnya semakin luntur. Smissaert bahkan mengabaikan pendapatnya dalam masalah ganti rugi sewa tanah, yang berpotensi mengancam stabilitas keuangan Kesultanan.

Krisis semakin memuncak ketika pada 6 Mei 1823, Gubernur Jenderal Van der Capellen mengeluarkan dekret yang mengharuskan tanah yang disewa oleh orang Eropa dan Tionghoa dikembalikan kepada pemiliknya. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena banyak tanah yang disewakan merupakan milik keraton. Hal ini mendorong Pangeran Diponegoro untuk mencari pinjaman dari Kapitan Tionghoa setempat.

Smissaert bahkan berhasil menipu kedua wali sultan untuk menyetujui kompensasi yang diminta oleh pihak Belanda atas perkebunan di Bedoyo, yang menyebabkan Pangeran Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Kondisi ini diperparah oleh dukungan Ratu Ageng dan Patih Danurejo yang cenderung pro terhadap Belanda.

Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan penting di rumahnya di Tegalrejo untuk membahas kemungkinan pemberontakan yang direncanakannya pada pertengahan Agustus. Dengan tekad yang bulat, ia membatalkan pajak Puwasa untuk memberikan kesempatan bagi para petani di Tegalrejo untuk mempersiapkan diri dengan senjata dan makanan.

Jalannya Perang

Pertempuran sengit antara pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang merupakan senjata andalan sejak zaman perang Napoleon, menjadi ciri khas perang Diponegoro. Front pertempuran meluas ke puluhan kota dan desa di seluruh Jawa, di mana kendali wilayah sering kali berubah tangan antara pasukan Belanda dan pribumi dalam waktu yang singkat. Jalur logistik diperluas dari satu wilayah ke wilayah lain untuk memastikan pasokan perang tetap berjalan lancar.

Dalam hutan dan jurang, berpuluh- puluh kilang mesiu dibangun, dan produksi senjata terus berlangsung selama peperangan. Para telik sandi dan kurir bekerja keras untuk menyampaikan informasi penting, seperti kekuatan musuh, kondisi medan, dan perkiraan curah hujan, yang sangat berharga untuk menyusun strategi perang yang efektif.

Serangan besar- besaran rakyat pribumi biasanya terjadi pada musim penghujan. Saat hujan tropis melanda, gerakan pasukan Belanda terhambat, dan sering kali mereka mencoba mengusulkan gencatan senjata dan perundingan. Namun, penyakit seperti malaria dan disentri menjadi musuh tak terlihat yang merenggut nyawa pasukan Belanda dan melemahkan moral mereka.

Ketika terjadi gencatan senjata, Belanda menggunakan kesempatan ini untuk mengonsolidasikan pasukan mereka dan menyebarkan mata- mata serta provokator untuk memecah belah dan menekan keluarga para pemimpin perlawanan. Namun, semangat perlawanan rakyat pribumi tetap kuat, dan mereka terus berjuang tanpa gentar.

Selain Pangeran Diponegoro, tokoh seperti Pangeran Serang II dan Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo juga berperan penting dalam perang. Pangeran Serang II menyerang posisi pertahanan Belanda di sepanjang Pantai Utara Jawa, sementara Raden Sosrodilogo berhasil merebut beberapa wilayah penting sebelum akhirnya terpaksa menyerah.

Pada tahun 1827, Belanda menggunakan sistem benteng untuk mengepung pasukan Diponegoro, dan pada tahun 1829, pemimpin spiritual pemberontakan, Kyai Mojo, ditangkap, diikuti oleh penangkapan Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya, Alibasah Sentot Prawirodirjo.

Akhirnya, pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang. Ia diasingkan ke Batavia selama sebulan sebelum dipindahkan ke Sulawesi, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya.

Penangkapan Diponegoro

Pada bulan September 1829, langit perang Diponegoro mulai suram. Pasukan Diponegoro yang tersisa terus menyusut, sebagian besar komandan telah menyerah atau ditangkap oleh Belanda, dan kekalahan terasa tak terhindarkan. Dalam percakapan dengan Mangkubumi, Diponegoro mengaku bahwa jalan satu- satunya adalah menjadi martir. Namun, keputusan untuk menyerah tidaklah menjadi pilihan bagi mereka.

Meskipun pilihan semakin sempit, Diponegoro dan pasukannya tetap melanjutkan perlawanan mereka. Selama tiga bulan, mereka menjalani hidup sebagai gerilyawan, menyelusuri hutan dan menghindari serbuan Belanda. Bahkan, Belanda menjanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa menangkap Diponegoro, tetapi usaha mereka selalu gagal. Bahkan, salah satu perwira Belanda, Kolonel Cleerens, mencoba mendekati orang- orang dekat Diponegoro untuk berunding.

Diponegoro mulai terbuka untuk bernegosiasi dengan Belanda dari Februari hingga Maret 1830. Pada 28 Maret 1830, Diponegoro diundang untuk berunding di Wisma Karesidenan Magelang oleh Jenderal De Kock. Namun, harapan untuk perundingan damai pupus ketika Diponegoro malah ditangkap, mengkhianati etika perang.

Diponegoro awalnya ditahan di Semarang sebelum akhirnya diasingkan ke Batavia dan ditahan di Stadhuis. Selanjutnya, ia diasingkan ke Manado selama tiga tahun sebelum dipindahkan ke Makassar hingga akhir hayatnya di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.

Tentu saja, Diponegoro merasa dikhianati oleh Belanda, terutama oleh Kolonel Cleerens dan Letnan Jenderal De Kock. Meski sudah menduga akan ditangkap, ia merasa kecewa dengan tindakan Belanda yang seolah- olah bersedia bernegosiasi namun menangkapnya dengan tipu daya. Kunjungannya ke Magelang seharusnya dianggap sebagai kesempatan untuk berunding, namun Belanda tidak pernah berniat membiarkannya pergi, mengingat Diponegoro telah menjadi ancaman besar bagi mereka selama lima tahun perang Diponegoro.

Dampak Perang

Perang Diponegoro menandai akhir dari perlawanan bangsawan Jawa terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dampaknya terasa luas, dengan korban yang sangat banyak di kedua belah pihak. Sekitar dua juta orang, atau sepertiga dari populasi Jawa saat itu, terkena dampaknya. Ribuan jiwa meninggal dan banyak lahan pertanian hancur.

Biaya perang yang ditanggung Belanda mencapai 25 juta gulden, sementara setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta menyusut drastis. Hanya beberapa bupati yang tidak menyerah kepada Belanda setelah perang, salah satunya adalah Warok Brotodiningrat III dari Ponorogo.

Para Warok, yang memiliki kemampuan perang yang tangguh, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan dengan Belanda, yang memberikan Ponorogo status khusus dengan fasilitas ultramodern seperti jalan beraspal, rel kereta api, dan kendaraan dari Eropa.

Setelah perang, ada juga perubahan dalam hubungan antara keturunan Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta. Meski Diponegoro dianggap pemberontak oleh sebagian, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti kepada keturunannya, mengizinkan mereka masuk ke keraton tanpa rasa takut.

Perang ini juga memicu kebijakan tanam paksa yang menguntungkan Belanda secara ekonomi. Meskipun perlawanan terhadap Belanda telah berubah sejak period Daendels dan Raffles, Perang Diponegoro semakin memperkuat posisi Belanda di Jawa, dengan keraton yang kehilangan kedaulatannya.

Di samping itu, perang ini juga mempengaruhi hubungan etnis Tionghoa di Jawa, yang sebelumnya merupakan sekutu Raden Ronggo, tetapi berubah menjadi musuh selama perang. Dan sementara Belanda berhasil mengatasi perlawanan Diponegoro, mereka juga terlibat dalam Perang Padri di Sumatera Barat.

Meskipun perang telah berakhir, konflik ini meninggalkan bekas luka yang mendalam pada masyarakat Jawa dan memiliki dampak besar pada politik, sosial, dan budaya di Indonesia. Namun, perlawanan ini juga memperkuat semangat nasionalisme Indonesia dan menjadi landasan bagi perjuangan lebih lanjut melawan penjajahan Belanda.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top