Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang tokoh ekonomi dan politik Indonesia yang memiliki peran penting dalam sejarah bangsa. Soemitro lahir pada 29 Mei 1917 di Gombong, Kebumen, Hindia Belanda, dan meninggal pada 9 Maret 2001 di Jakarta, Indonesia. Nama lengkapnya adalah Sumitro Joyohadikusumo.
Soemitro berasal dari keluarga ningrat Jawa dan memiliki latar belakang yang kaya akan sejarah. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, adalah seorang tokoh yang berpengaruh. Soemitro sendiri memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan ekonomi dan politik Indonesia.
Table of Contents
ToggleAwal Kehidupan dan Keluarga Soemitro Djojohadikoesoemo
Soemitro dilahirkan pada tanggal 29 Mei 1917 di Gombong, Kabupaten Roma Karanganyar, yang kini merupakan bagian dari wilayah Kebumen, Keresidenan Kedu. Waktu kelahirannya bersamaan dengan masa ketika ayahnya, Margono Djojohadikusumo, menjabat sebagai pejabat koperasi di pemerintahan Kabupaten Roma Karanganyar.
Sebagai anak sulung dari keluarga ningrat Jawa di Banyumas, Soemitro adalah hasil dari pernikahan antara Raden Mas Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo.
Ayahnya, seorang pegawai di tingkat menengah dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pada akhirnya berperan sebagai pendiri Bank Negara Indonesia.
Soemitro dan Dora Marie Sigar menikah saat keduanya sedang menuntut ilmu di Belanda; Dora pada waktu itu adalah seorang mahasiswa keperawatan di Utrecht.
Meskipun mereka memiliki perbedaan keyakinan agama, dengan Dora beragama Kristen dari Manado dan Soemitro beragama Islam, pernikahan mereka tetap terjadi pada tanggal 7 Januari 1947.
Setelah menikah, mereka menetap di Matraman, Jakarta. Anak sulung mereka, Biantiningsih Miderawati, meraih gelar sarjana pendidikan dari Universitas Harvard. Anak kedua, Mariani Ekowati, meniti karier sebagai ahli mikrobiologi.
Prabowo Subianto, anak ketiga mereka, dikenal sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju, dan pernah menikahi Titiek Soeharto, putri Soeharto. Sedangkan Hashim Djojohadikusumo, anak bungsu mereka, terjun ke dunia bisnis sebagai bagian dari grup Arsari.
Pendidikan Soemitro Djojohadikoesoemo
Soemitro masuk ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren di Banyumas setelah belajar di Europeesche Lagere School.
Ia pergi ke Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, Belanda, setelah menyelesaikan sekolah di Hindia Belanda pada tahun 1935. Terlepas dari depresi besar yang terjadi pada masa itu, Soemitro berhasil melanjutkan pendidikannya di luar negeri, yang merupakan pencapaian yang tidak biasa bagi banyak orang Indonesia pada saat itu.
Ia juga mengambil kursus filosofi dan sejarah di Universitas Paris selama setahun pada tahun 1937 hingga 1938 setelah mendapatkan gelar sarjana dari Rotterdam.
Dalam autobiografinya, Soemitro mengungkapkan ketertarikannya untuk bergabung dalam Perang Saudara Spanyol sebagai anggota satuan Brigade Internasional, akan tetapi ia ditolak karena dianggap terlalu muda. Selama studinya, ia aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia yang bertujuan mempromosikan seni budaya Indonesia.
Saat menyelesaikan disertasinya di Rotterdam pada bulan Mei 1940, kota itu diserang oleh Jerman Nazi dan Soemitro hampir terbunuh. Meskipun demikian, ia berhasil menyelesaikan disertasinya pada tahun 1943 dan memperoleh gelar doktor ekonomi.
Selama periode tersebut, Soemitro juga membantu pelaut Indonesia yang terdampar di Rotterdam dan terlibat dalam kegiatan Perhimpunan Indonesia (PI) yang melakukan perlawanan pasif terhadap pendudukan Jerman. Meskipun tidak menjadi anggota PI karena keberadaan tokoh komunis di dalamnya, Soemitro tetap fokus pada studinya tentang ekonomi Indonesia karena tidak dapat kembali ke tanah air akibat kondisi perang.
Awal Karir Soemitro Djojohadidkoesoemo
Setelah berakhirnya perang, Soemitro terlibat dalam delegasi Belanda dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di London pada Januari 1946 sebelum kembali ke Indonesia pada Maret 1946.
Meskipun pemerintah Britania Raya melaporkan bahwa Belanda membawa Soemitro untuk memberikan kesan positif kepada negara-negara lain, Soemitro merasa kecewa dengan pengalaman itu dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Setelah kembali ke tanah air, ia bekerja sebagai staf di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan aktif dalam Kementerian Keuangan. Soemitro, Sjahrir, dan Darmawan Mangunkusumo, menteri kemakmuran, diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan pada 3 Juli 1946.
Setelahnya, ia ditugaskan ke Amerika Serikat sebagai wakil ketua delegasi dan duta berkuasa penuh urusan ekonomi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan juga sempat menjabat sebagai kepala kedutaan besar Indonesia di AS.
Selama masa revolusi, Angkatan Laut Kerajaan Belanda menghalangi perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Soemitro diberi tugas untuk mencari cara untuk melewati blokade ini. Salah satu upayanya adalah mengirimkan kapal kargo berbendera Amerika Serikat, SS Martin Behrman, yang kemudian disita oleh AL Belanda setelah berlabuh di Cirebon.
Tindakan ini memicu protes dari Serikat Maritim Nasional Amerika Serikat dan Kongres Amerika Serikat bahkan mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan, sehingga Belanda terpaksa melepaskan kapal tersebut.
Meskipun kargo senilai tiga juta dolar hilang, Soemitro dan rekan-rekannya lebih menghargai perhatian media internasional daripada nilai kargo itu sendiri.
Dalam kerjasama bisnisnya, Soemitro bekerja sama dengan Matthew Fox, seorang pebisnis Amerika Serikat, untuk membentuk sebuah perusahaan perdagangan dengan kontrak monopoli atas sebagian perdagangan Indonesia–AS selama sepuluh tahun.
Diplomasi
Setelah terjadi Agresi Militer Belanda II, Soemitro dan anggota delegasi Indonesia lainnya memainkan peran penting dalam memperoleh perhatian dan simpati dunia.
Delegasi Indonesia di Amerika Serikat yang sebelumnya diabaikan mendadak menjadi sorotan, dan Soemitro diundang untuk bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert A. Lovett.
Setelah pertemuan tersebut, Soemitro mengadakan konferensi pers yang ditangkap oleh berbagai media AS — The New York Times pada tanggal 21 Desember 1948, bahkan mencetak seluruh pernyataan Soemitro yang menyerukan agar AS menghentikan bantuan Rencana Marshall untuk Belanda.
Soemitro juga memainkan peran utama dalam Konferensi Meja Bundar, bertindak sebagai ketua panitia ekonomi dan keuangan. Pada awalnya, Belanda menuntut agar Indonesia mengambil alih utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 6 miliar gulden, namun Soemitro menentangnya dengan mengklaim bahwa sebenarnya Belanda yang berutang sebesar 500 juta gulden kepada Indonesia.
Menurut pandangan Soemitro, sebagian besar utang tersebut digunakan untuk biaya militer Belanda selama perang kemerdekaan, sehingga tidak masuk akal bagi Indonesia untuk membayar perang melawan dirinya sendiri.
Setelah serangkaian negosiasi, disepakati bahwa Indonesia akan mengambil alih utang sebesar 4.3 milyar gulden, yang harus dilunasi pada bulan Juli 1964.
Meskipun Soemitro ingin melanjutkan perundingan, Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk menyetujui angka tersebut, dan juga membatalkan usulan Soemitro mengenai Papua Barat dalam konferensi tersebut.
Menteri dan Universitas Indonesia
Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, Soemitro diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir, sebagai anggota dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Sjahrir.
Kebijakan ekonomi yang ditekankan oleh Soemitro berfokus pada program industrialisasi, berbeda dengan pendekatan Menteri Keuangan saat itu, Syafruddin Prawiranegara, yang lebih cenderung pada pengembangan pertanian.
Soemitro merancang Rencana Urgensi Perekonomian (dikenal sebagai “Sumitro Plan”) yang diterbitkan pada bulan April 1951, setelah Kabinet Natsir digulingkan.
Rencana tersebut bertujuan untuk menggunakan dana negara dalam membangun fasilitas industri di pulau Jawa dan Sumatra dalam waktu dua tahun, termasuk memperbaiki pabrik-pabrik yang rusak akibat perang. Namun, pada akhir periode tersebut, tidak ada pabrik yang direncanakan berhasil berdiri, sehingga jangka waktu rencana tersebut diperpanjang menjadi tiga tahun.
Selama masa jabatannya di Kabinet Natsir, Soemitro juga melakukan kunjungan ke Eropa, terutama di Belanda, untuk menarik investasi asing dalam mendirikan pabrik-pabrik di Indonesia.
Dia juga memulai Program Benteng, yang mengatur lisensi impor barang tertentu yang harus dimiliki oleh pengusaha pribumi, meskipun sebenarnya Soemitro lebih mendukung konsep pasar bebas. Setelah Kabinet Natsir jatuh, Soemitro menjadi dekan kedua fakultas ekonomi di Universitas Indonesia (UI), menggantikan Soenarjo Kolopaking yang mundur.
Selama kepemimpinannya, Soemitro mengundang akademisi dari Belanda untuk mengatasi kekurangan staf pengajar di UI. Dia juga mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (sekarang LPEM FEUI), yang kemudian menjadi penting dalam merumuskan kebijakan ekonomi.
Soemitro juga memulai program afiliasi antara FE UI dan fakultas ekonomi Universitas California, Berkeley. Dengan dana dari Ford Foundation, dia mengirimkan sejumlah mahasiswa Indonesia ke Amerika untuk berpartisipasi dalam program pertukaran yang bertujuan untuk memperluas pemikiran ekonomi Indonesia, yang sebelumnya sangat terpengaruh oleh perspektif Eropa.
Terlepas dari upaya awal untuk membangun kolaborasi dengan Sekolah Ekonomi dan Ilmu Politik London, rencana tersebut dibatalkan karena British Council menolak untuk memberikan beasiswa.
Pada pertengahan tahun 1951, Soemitro mengundang mantan Menteri Keuangan Jerman Nazi, Hjalmar Schacht, ke Indonesia untuk meneliti situasi ekonomi nasional dan memberikan rekomendasi. Soemitro juga terlibat dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, bekas bank sentral Hindia Belanda.
Selain itu, dia sering berdebat dengan Syafruddin melalui tulisan mengenai pandangan ekonomi mereka, sambil juga mengkritik kebijakan pemerintah.
Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa investasi asing perlu untuk pengembangan ekonomi Indonesia, meskipun banyak tokoh nasionalis pada saat itu menolak investor asing. Soemitro juga mendukung program transmigrasi pemerintah, dengan syarat pengembangan industri di daerah-daerah baru.
Soemitro mendapat penugasan sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintahan Kabinet Wilopo. Pada masa itu, Kementerian Keuangan masih banyak diisi oleh pegawai Belanda yang mahir dalam administrasi tetapi kurang paham mengenai ilmu ekonomi menurut Soemitro.
Selama pemerintahan Wilopo, Soemitro berhasil menyelesaikan proses nasionalisasi Bank Indonesia dan memastikan semua anggota dewan direksi BI adalah warga Indonesia. Dia juga memperluas program Benteng, yang sebelumnya hanya mencakup sekitar 10 persen produk impor, menjadi lebih dari 50 persen.
Meskipun mengetahui bahwa program Benteng memiliki masalah dalam implementasinya, Soemitro menyatakan bahwa banyak pengusaha yang diuntungkan dari program tersebut mungkin hanya “parasit”.
Kabinet Wilopo jatuh pada tahun 1953, dan setelahnya beberapa upaya pembentukan kabinet tidak berhasil. Soemitro diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet yang diajukan oleh Burhanuddin Harahap, namun penunjukannya ditentang oleh Partai Nasional Indonesia sehingga Burhanuddin mengembalikan mandatnya.
Setelah itu, Ong Eng Die menggantikan Soemitro di Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Selama pemerintahan Ali, Soemitro menjadi kritikus pemerintah dengan menuduh kebijakan kabinet bertujuan untuk mengusir modal asing dari Indonesia, terutama perusahaan Belanda.
Dia kemudian kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955, di mana dia mengakhiri program Benteng untuk menstabilkan ekonomi yang terkena inflasi.
Kebijakan Soemitro selama masa pemerintahan Burhanuddin mencakup pengurangan belanja pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran, yang akhirnya mengendalikan inflasi. Meskipun PSI kehilangan kekuatan setelah pemilu 1955, Soemitro mempertanyakan kepemimpinan Sjahrir atas partai tersebut.
Dia juga diutus ke Jenewa pada akhir tahun 1955 untuk merundingkan masalah Irian Barat, namun proses negosiasi terhenti karena tekanan politik dalam negeri. Kecewa dengan tindakan pemerintah, Soemitro dan beberapa delegasi Indonesia lainnya sempat berniat untuk mengundurkan diri.
Sebelum jatuhnya kabinet Burhanuddin, Soemitro meminjamkan dana pemerintah ke beberapa perusahaan yang terkait dengan partai politik, memicu tuntutan pembubaran kabinet lebih cepat.
Soemitro dianggap sebagai menteri paling berpengaruh dari PSI selama periode Demokrasi Liberal. Dalam makalahnya tahun 1952, Soemitro menegaskan tujuan kebijakannya, yaitu meningkatkan konsumsi dan investasi dalam negeri sambil memperbaiki neraca perdagangan negara.
Dia juga mendukung investasi asing, menganggap pengusiran investor asing sama dengan “menggali kubur sendiri”. Soemitro juga berupaya meyakinkan para investor asing untuk membantu pengembangan sumber daya manusia Indonesia melalui keringanan pajak.
PRRI
Pada masa pemerintahan Kabinet Djuanda, Presiden Soekarno secara terang-terangan menentang ekonom-ekonom yang belajar di institusi Barat, termasuk Soemitro. Pendekatan ini didukung oleh PKI yang dipimpin D.N. Aidit, yang menuduh bahwa Soemitro mendukung imperialisme dan feodalisme.
Aidit mengkritik pandangan ekonomi Soemitro yang dianggap tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia saat itu, terutama di desa. Soemitro pun disorot karena dianggap memberi ruang kepada kapitalis asing untuk masuk ke Indonesia.
Selama bulan Mei 1957, Soemitro dua kali dipanggil polisi terkait tuduhan korupsi dan hubungannya dengan seorang pengusaha yang terlibat kasus suap. Ketika dipanggil untuk ketiga kalinya pada tanggal 8 Mei 1957, Soemitro memilih untuk bersembunyi, awalnya di rumah seorang teman di Tanah Abang, lalu pindah ke Pulau Sumatra dengan bantuan Sjahrir.
Di Sumatra, Soemitro dikunjungi oleh politisi PSI yang mencoba mempengaruhinya untuk tidak mendukung gerakan anti-pemerintah. Namun, Soemitro memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan mereka. Pada tanggal 13 Mei 1957, Soemitro tiba di Sumatra Tengah dan mulai bergabung dengan Dewan Banteng.
Ketika hubungan antara Dewan Banteng dan pemerintah pusat semakin memburuk, usulan kompromi, termasuk usulan untuk kembali ke pemerintahan tokoh moderat seperti Hatta, ditolak. Di Sumatra, beberapa tokoh Masyumi, termasuk Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, bergabung dengan Soemitro.
Soemitro mulai berpergian ke luar negeri untuk mengumpulkan dukungan dan berhubungan dengan wartawan serta pemerintah asing, termasuk CIA di Singapura. Pada bulan September 1957, setelah pertemuan dengan kolonel-kolonel anti-pemerintah, Soemitro mengirimkan tuntutan kepada pemerintah pusat, termasuk desentralisasi dan pencopotan Abdul Haris Nasution. Hubungannya dengan Amerika Serikat mungkin meningkatkan keyakinan kelompok anti-pemerintah dalam menegakkan tuntutan mereka.
Setelah deklarasi PRRI pada tahun 1958, Soemitro menjalin hubungan dengan pihak asing dan berhasil mengumpulkan senjata serta dana dari penjualan sumber daya alam untuk PRRI. Meskipun demikian, pemerintah pusat berhasil merebut kembali kota-kota besar di Sumatra.
Setelah jatuhnya Bukittinggi, Soemitro ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Menteri Luar Negeri oleh Syafruddin dan ditempatkan di Manado bersama kelompok Permesta. Soemitro menolak deklarasi Republik Persatuan Indonesia oleh PRRI karena tidak setuju dengan bentuk negara federal.
Setelah PRRI ditumpas, Soemitro memutuskan untuk tinggal di luar negeri dan bekerja sebagai konsultan di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Orde Baru
Setelah kejatuhan Soekarno dan pergantian kekuasaan oleh Soeharto, beberapa mantan murid Soemitro seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Emil Salim diberi jabatan sebagai menteri atau penasihat dalam pemerintahan. Soeharto meminta Ali Murtopo untuk membujuk Soemitro agar kembali ke Indonesia, dan pertemuan antara Ali dan Soemitro terjadi di Bangkok pada Maret 1967.
Setuju untuk pulang dan kembali secara rahasia pada pertengahan tahun 1967 karena takut pemerintah akan menuduhnya sebagai pendukung Orde Lama. Pada tanggal 10 Juni 1968, Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Pembangunan I.
Sebagai Menteri Perdagangan dan Industri di era Orde Baru, Soemitro menerapkan kebijakan dagang untuk mendorong ekspor dan mengendalikan impor produk tertentu. Misalnya, ia mendirikan badan-badan untuk mengatur kualitas dan ekspor kopi serta kopra, sambil melarang ekspor karet alam berkualitas rendah untuk mendorong industri karet lebih maju.
Soemitro juga mendorong pengurangan impor barang konsumsi dan peningkatan impor barang modal, serta menaikkan bea masuk untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Kabinet Pembangunan I juga termasuk Mafia Berkeley, sekelompok ekonom yang belajar di Barat dan sebagian besar adalah mantan murid Soemitro. Selain sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Soemitro juga menjadi salah satu penasihat ekonomi Soeharto.
Soemitro diangkat menjadi Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II pada tahun 1973. Beberapa orang berpendapat bahwa perombakan ini terjadi karena Soemitro dan Soeharto tidak setuju tentang kebijakan ekonomi.
Sebagai Menteri Riset, Soemitro memulai program penelitian nasional dalam bidang ekonomi dengan melibatkan fakultas ekonomi dari berbagai universitas di Indonesia untuk membantu penyusunan program ekonomi pemerintah. Namun, program ini berakhir setelah Soemitro digantikan oleh B. J. Habibie dalam Kabinet Pembangunan III.
Di luar kariernya di pemerintahan, Soemitro terlibat dalam dunia usaha dengan mendirikan Indoconsult Associates bersama Mochtar Lubis pada tahun 1967, sebuah firma konsultan bisnis pertama di Indonesia. Dia juga terlibat dalam pertumbuhan Grup Astra sejak tahun 1968, ketika membantu grup tersebut mendapatkan lisensi importir tunggal mobil Toyota.
Soemitro juga aktif dalam organisasi akademis, termasuk sebagai salah satu pendiri East Asian Economic Association pada tahun 1984. Meskipun tidak lagi di pemerintahan, pengaruh Soemitro dalam dunia ekonomi terus terasa, terutama dalam kritik-kritiknya terhadap kebijakan pemerintah selama masa Orde Baru, serta analisisnya terhadap kondisi ekonomi Indonesia pasca-krisis finansial Asia pada tahun 1997-1998.
Wafat
Soemitro wafat di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur pada 9 Maret 2001 ketika usianya 84 tahun. Ia telah lama mengidap penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah. Sesuai keinginannya untuk dimakamkan secara sederhana, Soemitro dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Bio Data Soemitro Djojohadikoesoemo
Nama Lengkap | Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo |
Nama Kecil | Soemitro Djojohadikoesoemo |
Nama Lain | Sumitro Joyohadikusumo |
Tempat, Lahir | Gombong, Kebumen, Hindia Belanda, 29 Mei 1917 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 9 Maret 2001 (umur 83) |
Makam | Taman Pemakaman Umum Karet Bivak |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Ekonom, Politikus |
Partai Politik | Partai Sosialis Indonesia (1955–1960) |
Ayah | Margono Djojohadikoesoemo |
Ibu | Siti Katoemi Wirodihardjo |
Isteri (Pernikahan) | Dora Marie Sigar |
Anak | Biantiningsih Miderawati Djiwandono Marjani Ekowati Lemaistre Prabowo Subianto Hashim Djojohadikusumo |
Riwayat Pendidikan Soemitro Djojohadikoesoemo
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School (ELS) di Banyumas |
Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) | Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Banyumas |
Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) (1935 – 1945) | Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda. |
Kursus Filosofi dan Sejarah (937 – 1938) | Université de Paris (La Sorbonne) |
Karir Soemitro Djojohadikoesoemo
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Perdana Menteri Sutan Syahrir | Pembantu Staf (1946) |
Indonesian Banking Corporation | Presiden Direktur (1947) |
Utusan Indonesia pada Dewan Keamanan PBB | Wakil Ketua (1948-1949) |
Delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar, Den Haag, Belanda | Anggota (1949) |
Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC, AS | Kuasa Usaha (1950) |
Menteri Perdagangan dan Perindustrian Indonesia | Menteri Perdagangan dan Perindustrian Indonesia (6 September 1950 – 27 April 1951) |
Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia (UI) | Dekan 1951 – 1957) |
Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat UI | Pendiri |
Universitas Indonesia | Guru Besar Ekonomi (1952-2000) |
Menteri Keuangan Indonesia | Menteri Keuangan Indonesia (3 April 1952 – 30 Juli 1953) |
Menteri Keuangan Indonesia | Menteri Keuangan Indonesia (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956) |
Konsultan Ekonomi di Malaysia, Hong Kong, Thailand, Perancis, dan Swiss | Konsultan Ekonomi (1958-1967) |
Menteri Perdagangan Indonesia | Menteri Perdagangan Indonesia (6 Juni 1968 – 28 Maret 1973) |
Menteri Negara Riset Indonesia | Menteri Negara Riset Indonesia (28 Maret 1973 – 28 Maret 1978) |
Koperasi Pegawai Negeri | Ketua Umum Induk (1982) |
Indoconsult Associates | Pendiri dan Konsultan Ekonomi (1967) |
East Asian Economic Association (Asosiasi Ekonomi Asia Timur) | Pendiri dan Ketua Umum (1984) |
PT. Bank Pembangunan Asia | Komisaris Utama (1986) |
Universitas Mercu Buana | Ketua Dewan Penyantun (1985-1990) |
Astra Group | Presiden Komisaris (1992) |
Penghargaan Bintang Soemitro Djojohadikoesoemo
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Adipradana | |
Panglima Mangku Negara (P.M.N.), Malaysia | |
Knight Grand Cross of the Most Exalted Order of the White Elephant of Thailand (K.C.E.), Thailand | |
Grand Cross of the Order of the Crown, Belgia | |
Grand Officer of the Order of the Republic (1992), Tunisia |